Wanita itu tidak melanjutkan kalimatnya. Benar-benar
sulit dipercaya cerita yang begitu menyeramkan meluncur keluar dari mulut mungil seorang wanita, dan bukan itu saja. Cara yang begitu enteng, seperti sedang membicarakan mode pakaian saja, benar-benar luar biasa. Tidak ada ketegangan sama sekali, kecuali sedikit kebimbangan yang memang sejak pertama tadi terlihat.
"Ternyata tidak enak menjadi seorang pembunuh!" wanita itu melanjutkan. "Saya selalu tegang dan risau. Perasaan berdosa dan bersalah berbaur menjadi satu dengan bayang-bayang saya. Mereka selalu berada di belakang saya, mengikuti saya kemana pun pergi dan ... yah, mereka terus-menerus mengingatkan saya pada kejadian itu. Berkali-kali saya mencoba berdamai dengan perasaan bersalah itu. Berkali-kali saya mencoba berdamai dengan perasaan berdosa itu tetapi saya tidak pernah berhasil, Romo. Itulah sebabnya, akhirnya saya memutuskan datang ke sini, meskipun saya bukan orang Kristen, apalagi Katolik."
Romo Paulus sama sekali tidak memperlihatkan perasaan hatinya. Wajah dan sinar matanya tetap dalam.
"Berilah saya petunjuk, Romo!" kata Titis akhirnya. "Saya tidak tahan berada dalam keadaan begini terus-menerus!"
"Tidak ada orang yang pernah berhasil berdamai dengan dosanya!" kata Romo Paulus. "Kesalahan dan dosa ada agar selalu bertolak belakang dengan hati nurani manusia. Sia-sia kalau engkau mencoba berdamai dengan dosa, anakku! Oh ya, bolehkan aku memanggil engkau dengan sebutan anakku?"
Titis mengangguk.
"Perdamaian dengan dosa adalah perbuatan sia-sia, anakku!" Romo Paulus melanjutkan.
"Lalu saya harus bagaimana, Romo?"
"Bertobat!"
"Bertobat? Saya tidak mengerti bagaimana cara bertobat, Romo!"