Dendang dan Senandung Rindu
Tri Budhi Sastrio
Â
Ada janji yang memang diucapkan setengah hati
Tetapi ada juga janji dari dalam lubuk sanubari.
Walau sama-sama janji, tetapi janji tulus murni
Lebih dipuji, lebih dihargai, lebih diapresiasi.
Hanya saja pada akhirnya tetap saja kembali
Pada keputusan akhir dari Sang Mahasuci,
Mana janji diingkari, mana janji yang ditepati.
Satu tahun mungkin bukan waktu yang terlalu lama tetapi juga bukan waktu yang terlalu singkat, begitu juga bagi Rantri. Yang jelas hari ini tepat satu tahun dia menunggu. Menunggu sesuatu yang diyakini pasti akan kembali.
Sekarang masih pagi. Matahari masih malu-malu di ufuk Timur. Dinginnya pagi masih bermalas-malas untuk pergi. Janji yang dikumandangkan dulu oleh dia tepatnya tengah hari. 'Berarti sekarang masih enam jam lebih,' gumam gadis manis berkulit kuning langsat itu lirih. 'Aku yakin engkau pasti akan kembali, kang. Aku yakin ini.'
Kalimat yang terakhir ini diucapkan lebih lirih lagi, sehingga dua cicak yang ada di sudut kamar saling pandang, setelah sebelumnya masing-masing mengerahkan segenap kemampuan pendengaran mereka agar bisa menangkap bisikan lirih Rantri.
'Yah, Rantri Natiri memang semakin sering saja berkata lirih dan semakin lama semakin lirih,' kata si cicak jantan setelah cukup lama menatap pasangannya. 'Kau mendengar kalimat terakhirnya?'
'Ya, seperti yang selama ini selalu diucapkan, mas. Aku yakin engkau pasti akan kembali, kang. Aku sampai lupa entah berapa puluh kali dia mengatakan ini.'
Si cicak jantan yang dipanggil dengan sebutan 'mas' agak mencibir. Samar-samar terbersit rona memandang remeh berbaur dengan rasa kasihan.
'Aku tidak yakin laki-laki itu akan kembali. Kau? Sampai sekarang masih seperti si Rantri kan? Tetap yakin pasti akan kembali. Aku tidak. Semakin banyak aku mendengar berita, semakin aku yakin pendapatku benar. Bala tentara Jepang hampir menguasai seluruh wilayah nusantara. Ini artinya mereka menang, bukan? Lalu bagaimana para pemuda yang tidak jelas bersenjata apa, yang paling modern katanya bambu runcing, bisa tetap selamat jika terus saja bersikeras ingin mengusir mereka? Seharusnya kalau dia memang mencintai gadis yang cantik ini, ya jangan pergi. Memangnya siapa yang mengharuskan dia pergi kecuali semangat dan pikirannya yang sempit, naif dan bodoh itu?'
'Eh jangan begitu,' balas si cicak betina itu ketus. 'Cicak seperti engkau mana bisa paham semangat cinta tanah air segala. Kau tidak paham dan tampaknya juga tidak punya sehingga ...'
'Tentu saja aku punya semangat seperti itu. Mungkin agak berbeda, tetapi aku punya bahkan ...'
Kata-kata si cicak jantan terhenti. Rantri membuka jendela. Udara dingin berhembus masuk. Dua cicak di pojok atas untuk sesaat tampak seperti menggigil. Semalaman mereka berbagi udara hangat dengan gadis cantik ini dan sekarang tiba-tiba udara pagi yang dingin berhembus masuk. Cicak memang bukan mahluk yang memerlukan mantel atau selimut segala untuk menahan udara dingin, tetapi perubahan yang tiba-tiba tetap saja membuat mereka berdua untuk sejenak terpengaruh.
Kamar sederhana itu sekarang berubah lebih sejuk dan lebih terang. Langit merah di timur terpantul sempurna pada cermin tua yang agak usang di dinding kusam yang tepat berhadapan dengan jendela.
'Hari ini aku tidak akan ke mana-mana. Akan kutunggu engkau di sini, kang. Ya di kamar ini tempat engkau pertama kali menjadikan aku wanita dewasa, tempat pertama kali aku merasakan betapa engkau semakin segala-galanya bagiku.'
Lalu dialog sederhana yang pernah dilakukan setahun yang lalu berdua dengan pria yang ditunggu ini kembali terngiang di telinganya.
***
'Tetapi serdadu Jepang kan jago berperang, kang? Kalau kakang nekad bergabung dengan para pejuang, lalu aku harus bagaimana? Juga bagaimana seandainya ..."
Pemuda berperawakan sedang itu tersenyum sambil memegang erat tangannya.
'Aku harus bergabung dengan mereka dik. Mereka memerlukan banyak bantuan. Serdadu Jepang semakin kejam saja menindas bangsa kita. Menghukum, menghajar dan bahkan membunuh semakin sering dilakukan. Konyolnya semua dilakukan tanpa alasan yang jelas. Semua alasannya mengada-ada dan seenak perutnya. Jika hal ini dibiarkan tanpa ada yang melawan, akan diletakkan di mana harga diri kita? Wanita, anak-anak dan orang tua memang tidak mungkin melawan penindasan yang benar-benar seenak perutnya ini tetapi bagaimana dengan kami yang masih muda-muda ini? Diam saja? Kan ...'
Sambil menatap pemuda di depannya dengan pandangan cemas, Rantri mengangkat tangannya.
'Memang tidak bisa dibiarkan tindakan semena-mena seperti ini, tetapi nekad menentang mereka yang jelas-jelas jauh lebih hebat kan tidak ubahnya seperti laron menerjang api.'
'Kami bukan laron dan mereka bukan api. Kamilah apinya Rantri. Kamilah apinya yang akan membakar mereka. Lihat saja nanti ...'
Rantri membelalakkan matanya yang indah. Pemuda ini memanggilnya Rantri? Tidak lagi dengan sebutan 'dik' seperti yang biasa dilakukan selama ini? Bukankah panggilan Rantri hanya digunakan ketika mereka berkenalan dulu, dan kemudian diubah setelah mereka bertunangan dan menikah? Dan sekarang suaminya ini memanggil dia dengan sebutan Rantri? Ya, ampun, apakah ini sebuah pertanda bahwa hubungan suami dan istri mereka sudah berakhir? Atau ...
"Mengapa kakang panggil aku dengan sebutan Rantri lagi? Bukankah ...?'
'Aku tahu. Sejak aku memutuskan untuk melamar, bertunangan dan menikah, aku selalu memanggilmu dengan sebutan 'adik' atau 'dik' tetapi kali ini aku meminta ijin untuk pergi bergabung dengan para pemuda lain bukan sebagai suamimu tetapi sebagai temanmu. Itulah sebabnya engkau akan kupanggil Rantri sampai aku kembali nanti. Setelah perjuangan kami selesai dan membuahkan hasil, engkau akan kupanggil kembali dengan sebutan 'adik'. Dan aku berjanji akan kembali, aku berjanji akan memenangkan perjuangan ini. Dan aku berjanji akan kembali untuk memanggilmu kembali dengan sebutan 'dik' bukan Rantri.'
Dua pasang mata yang seperti bola itu memancarkan rasa cemas. Gelisah. Takut. Terasa ada yang salah tetapi apa itu, inilah yang terasa gelap baginya. Dia tahu tidak ada gunanya menahan orang yang dipanggilnya 'kang' ini. Setahun hidup bersama terlalu cukup untuk mengenali betapa suaminya ini lembut di luar tetapi batu karang di dalam. Dalam banyak hal suaminya biasanya mengalah, tetapi kala dia bersikeras, maka pada akhirnya ialah yang harus mengalah.Â
Setelah berulang kali mengalami hal ini, Rantri sadar, betapa tidak mudahnya mengubah pendirian pria semacam ini. Dan sekarang kembali dia harus menghadapi hal ini.Â
Suaminya tetap lembut tetapi mulai bersikeras. Dan kalau sudah begini, seperti yang sudah-sudah, apalagi yang dapat dilakukan kecuali tidak bisa berbuat apa-apa.
Percakapan memang masih berlanjut tetapi semuanya terasa mengambang di awang-awang bagi Rantri. Kata-kata suaminya memang didengarnya, tetapi maknanya terasa melayang-layang di atas rawa berkabut tebal lalu menghilang tak berbekas.
Suaminya memang baru benar-benar pergi meninggalkan dia tiga hari kemudian, tetapi selama tiga hari yang tersisa itu Rantri merasa bahwa semuanya berubah total. Dia merasa sudah mulai menunggu kepulangan suaminya. Dia merasa suaminya sudah pergi walau masih ada. Dia merasa suaminya sudah ikut berjuang melawan penindasan di suatu tempat, dan dia merasa ...
Perasaan yang terakhir inilah yang membuat semua sinar kehidupan dalam matanya yang bening indah untuk sesaat menghilang. Dia memang berkeyakinan kuat bahwa suaminya kembali tetapi pada saat yang sama, entah dari mana, ada yang selalu berbisik bahwa inilah pertemuan terakhir mereka.
***
Langit merah sudah berubah. Sinar matahari masuk ke kamar, memantul dari cermin, membuat seluruh ruangan terang benderang. Dua cicak di pojok atas ruangan entah sejak kapan sudah tidak terlihat.Â
Hanya ada Rantri dan sinar matahari. Hanya ada jendela dan pintu yang seakan-akan ikut menunggu. Lalu semuanya berbaur menjadi satu termasuk dendang dan senandung rindu.
Sementara kemersik daun bambu jauh di pojok halaman rumah yang awalnya diam membisu, sekarang ikut menaburkan rona-rona biru, kala sang bayu melenggang datang ikut meramaikan suasana sendu.
Langit hening, awan berkilau putih dengan latar belakang warna biru. Waktu berlalu dan merangkak naik sebelum warna putih dan biru perlahan berubah menjadi kelabu. Dendang dan senandung rindu terus saja seperti ditabuh bertalu-talu, tetapi Rantri tidak lagi pernah mendengar panggilan 'dik' berkumandang di rumah itu.
SDA-26052015Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI