Mohon tunggu...
Tri Budhi Sastrio
Tri Budhi Sastrio Mohon Tunggu... Administrasi - Scriptores ad Deum glorificamus

SENANTIASA CUMA-CUMA LAKSANA KARUNIA BAPA

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen Perjuangan: Dendang dan Senandung Rindu

2 Desember 2020   22:43 Diperbarui: 16 November 2024   10:24 137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://id.pinterest.com/Mark Beerdom

'Eh jangan begitu,' balas si cicak betina itu ketus. 'Cicak seperti engkau mana bisa paham semangat cinta tanah air segala. Kau tidak paham dan tampaknya juga tidak punya sehingga ...'

'Tentu saja aku punya semangat seperti itu. Mungkin agak berbeda, tetapi aku punya bahkan ...'

Kata-kata si cicak jantan terhenti. Rantri membuka jendela. Udara dingin berhembus masuk. Dua cicak di pojok atas untuk sesaat tampak seperti menggigil. Semalaman mereka berbagi udara hangat dengan gadis cantik ini dan sekarang tiba-tiba udara pagi yang dingin berhembus masuk. Cicak memang bukan mahluk yang memerlukan mantel atau selimut segala untuk menahan udara dingin, tetapi perubahan yang tiba-tiba tetap saja membuat mereka berdua untuk sejenak terpengaruh.

Kamar sederhana itu sekarang berubah lebih sejuk dan lebih terang. Langit merah di timur terpantul sempurna pada cermin tua yang agak usang di dinding kusam yang tepat berhadapan dengan jendela.

'Hari ini aku tidak akan ke mana-mana. Akan kutunggu engkau di sini, kang. Ya di kamar ini tempat engkau pertama kali menjadikan aku wanita dewasa, tempat pertama kali aku merasakan betapa engkau semakin segala-galanya bagiku.'

Lalu dialog sederhana yang pernah dilakukan setahun yang lalu berdua dengan pria yang ditunggu ini kembali terngiang di telinganya.

***

'Tetapi serdadu Jepang kan jago berperang, kang? Kalau kakang nekad bergabung dengan para pejuang, lalu aku harus bagaimana? Juga bagaimana seandainya ..."

Pemuda berperawakan sedang itu tersenyum sambil memegang erat tangannya.

'Aku harus bergabung dengan mereka dik. Mereka memerlukan banyak bantuan. Serdadu Jepang semakin kejam saja menindas bangsa kita. Menghukum, menghajar dan bahkan membunuh semakin sering dilakukan. Konyolnya semua dilakukan tanpa alasan yang jelas. Semua alasannya mengada-ada dan seenak perutnya. Jika hal ini dibiarkan tanpa ada yang melawan, akan diletakkan di mana harga diri kita? Wanita, anak-anak dan orang tua memang tidak mungkin melawan penindasan yang benar-benar seenak perutnya ini tetapi bagaimana dengan kami yang masih muda-muda ini? Diam saja? Kan ...'

Sambil menatap pemuda di depannya dengan pandangan cemas, Rantri mengangkat tangannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun