'Memang tidak bisa dibiarkan tindakan semena-mena seperti ini, tetapi nekad menentang mereka yang jelas-jelas jauh lebih hebat kan tidak ubahnya seperti laron menerjang api.'
'Kami bukan laron dan mereka bukan api. Kamilah apinya Rantri. Kamilah apinya yang akan membakar mereka. Lihat saja nanti ...'
Rantri membelalakkan matanya yang indah. Pemuda ini memanggilnya Rantri? Tidak lagi dengan sebutan 'dik' seperti yang biasa dilakukan selama ini? Bukankah panggilan Rantri hanya digunakan ketika mereka berkenalan dulu, dan kemudian diubah setelah mereka bertunangan dan menikah? Dan sekarang suaminya ini memanggil dia dengan sebutan Rantri? Ya, ampun, apakah ini sebuah pertanda bahwa hubungan suami dan istri mereka sudah berakhir? Atau ...
"Mengapa kakang panggil aku dengan sebutan Rantri lagi? Bukankah ...?'
'Aku tahu. Sejak aku memutuskan untuk melamar, bertunangan dan menikah, aku selalu memanggilmu dengan sebutan 'adik' atau 'dik' tetapi kali ini aku meminta ijin untuk pergi bergabung dengan para pemuda lain bukan sebagai suamimu tetapi sebagai temanmu. Itulah sebabnya engkau akan kupanggil Rantri sampai aku kembali nanti. Setelah perjuangan kami selesai dan membuahkan hasil, engkau akan kupanggil kembali dengan sebutan 'adik'. Dan aku berjanji akan kembali, aku berjanji akan memenangkan perjuangan ini. Dan aku berjanji akan kembali untuk memanggilmu kembali dengan sebutan 'dik' bukan Rantri.'
Dua pasang mata yang seperti bola itu memancarkan rasa cemas. Gelisah. Takut. Terasa ada yang salah tetapi apa itu, inilah yang terasa gelap baginya. Dia tahu tidak ada gunanya menahan orang yang dipanggilnya 'kang' ini. Setahun hidup bersama terlalu cukup untuk mengenali betapa suaminya ini lembut di luar tetapi batu karang di dalam. Dalam banyak hal suaminya biasanya mengalah, tetapi kala dia bersikeras, maka pada akhirnya ialah yang harus mengalah.Â
Setelah berulang kali mengalami hal ini, Rantri sadar, betapa tidak mudahnya mengubah pendirian pria semacam ini. Dan sekarang kembali dia harus menghadapi hal ini.Â
Suaminya tetap lembut tetapi mulai bersikeras. Dan kalau sudah begini, seperti yang sudah-sudah, apalagi yang dapat dilakukan kecuali tidak bisa berbuat apa-apa.
Percakapan memang masih berlanjut tetapi semuanya terasa mengambang di awang-awang bagi Rantri. Kata-kata suaminya memang didengarnya, tetapi maknanya terasa melayang-layang di atas rawa berkabut tebal lalu menghilang tak berbekas.
Suaminya memang baru benar-benar pergi meninggalkan dia tiga hari kemudian, tetapi selama tiga hari yang tersisa itu Rantri merasa bahwa semuanya berubah total. Dia merasa sudah mulai menunggu kepulangan suaminya. Dia merasa suaminya sudah pergi walau masih ada. Dia merasa suaminya sudah ikut berjuang melawan penindasan di suatu tempat, dan dia merasa ...
Perasaan yang terakhir inilah yang membuat semua sinar kehidupan dalam matanya yang bening indah untuk sesaat menghilang. Dia memang berkeyakinan kuat bahwa suaminya kembali tetapi pada saat yang sama, entah dari mana, ada yang selalu berbisik bahwa inilah pertemuan terakhir mereka.