Hutan Lindung Wehea adalah kawasan konservasi penting yang terletak di Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur, dengan luas sekitar 38.000 hektar.Â
Hutan tersebut memiliki fungsi ekologis yang sangat penting, termasuk sebagai penyangga sistem hidrologi yang menjaga kualitas air bagi masyarakat di sekitarnya.
Hutan Wehea merupakan salah satu ekosistem hutan hujan tropis yang masih terjaga, berperan sebagai habitat bagi berbagai spesies flora dan fauna, termasuk berbagai spesies endemik dan terancam punah.
Keanekaragaman hayati di Wehea mencerminkan kekayaan ekologis hutan tropis Indonesia yang sangat penting untuk penelitian ilmiah dan upaya konservasi.
Salah satu spesies ikonik yang menghuni Hutan Lindung Wehea adalah orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus), selain itu juga terdapat primata lainnya yaitu owa Kalimantan (Hylobates funereus).
Owa adalah salah satu satwa liar yang dapat dipantau keberadaannya melalui suaranya. Owa hampir setiap pagi hari bersuara atau sering dikenal dengan melakukan great call.
Suara owa inilah yang dapat digunakan sebagai indikasi pemantauan dan monitoring keberadaannya. Metode yang digunakan adalah bioakustik.
Dalam pelaksanaannya Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN), dan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) yang tergabung dalam Forum Wehea-Kelay bersama dengan Yayasan Swara Owa melakukan monitoring owa berdasarkan suaranya di Hutan Wehea.
Perjalanan Menuju Hutan Wehea
Perjalanan dimulai dari Samarinda menuju ke Sangatta, Ibu Kota Kabupaten Kutai Timur, yang ditempuh selama empat jam menggunakan mobil.
Setelah makan siang perjalanan dilanjutkan hingga pukul 17.00 menuju ke Muara Wahau. Muara Wahau adalah salah satu Kecamatan yang ada di Kabupaten Kutai Timur dan menjadi lokasi titik awal perjalanan menuju Hutan Wehea.
Perjalanan menuju Hutan Wehea harus menggunakan mobil 4WD karena harus melalui jalanan perusahaan sawit dan perusahaan logging sekitar lima jam. Hingga kami sampai di Camp Riset jarum jam telah menunjukkan pukul 22.00.
Camp riset Hutan Wehea menjadi base camp semua kegiatan pengelolaan yang dilakukan, mulai dari aktivitas ranger penjaga hutan yang dikenal dengan Petkuq Mehuey, kegiatan monitoring keanekaragaman hayati dan berbagai penelitian.
Camp riset berada di tepi sungai berbatu yang jernih di dalam kelebatan hutan rimba. Terdapat beberapa kamar tamu, dan berbagai fasilitas pendukung lainnya di sana. Penerangan mengandalkan solar panel membuat suasana di Camp Riset sangat tenang dan kondusif untuk melakukan riset.
Pengamatan Suara Owa
Pagi telah datang, suhu dingin masih menusuk kulit, namun saatnya untuk memulai pengamatan. Sebelum owa berbunyi para pengamat harus sudah berada standby di titik-titik yang telah ditentukan atau dikenal dengan LPS (Listening Point).
Tepat setelah sholat subuh masing-masing tim langsung bergerak mendaki ke LPS yang biasanya berada di titik-titik ketinggian. Perjalanan pagi buta dengan jalan menanjak membuat nafas memburu dan nadipun berdetak makin kencang.
Sampai di titik yang dituju, tugas selanjutnya adalah bengong dan nongkrong hingga suara owa pertama berbunyi.
Saat menunggu inilah beberapa kali suara tepukan tangan terdengar dan beberapa nyamuk penyet seketika. Namun ternyata satu nyamuk mati datang puluhan kawannya menyerang. Perlu kesabaran dalam survei satwa di alam liar seperti ini.
Sepuluh menit berlalu, sayup-sayup suara owa mulai terdengar di kejauhan. Tak berapa lama beberapa suara owa yang terdekat dengan titik pengamatan memulai bersuara. Kening berkerut sembari menajamkan kepekaan telinga membedakan suara tiap individu yang bersuara dengan arah yang berbeda-beda.
Beberapa suara owa yang terdengar jelas kami rekam menggunakan alat perekam aktif untuk dilakukan analisis lebih lanjut di base camp.
Suara yang terdengar dengan nada-nada panjang dari suara betina dewasa, sedangkan owa jantan hanya menimpali atau melanjutkan rangkaian suara betinanya.
Selain menggunakan perekam aktif beberapa alat perekam pasif bioakustik juga telah dipasang di beberapa tempat dua hari sebelumnya oleh tim pioneer yang telah berangkat terlebih dahulu.
Terdapat beberapa jenis owa di Indonesia, masing-masing jenis memiliki karakteristik suara yang berbeda-beda. Suara owa yang ada di Hutan Wehea adalah dari jenis Hylobates funereus.
Suara yang sering menjadi pembeda dengan jenis lainnya adalah suara betina. Suaranya diawali dengan suara terputus-putus pendek dan keras dilanjutkan dengan suaranya yang bergetar semakin lama semakin mengecil.
Melalui suara owa dengan menggunakan metode trianggulasi peneliti dapat memperkirakan populasi dan sebarannya di Hutan Wehea.
Tiga titik mendengar (LPS) akan dibuat di dalam hutan untuk memperkirakan ada berapa kelompok owa yang bersuara, dari arah mana saja dan diperkirakan jarak suara berapa meter dari pengamat.
Penelusuran ke Sepan
Siang hari dilanjutkan penelusuran ke sepan. Sepan adalah sumber garam mineral.
Umumnya satwa mamalia sering menuju ke sepan untuk mendapatkan minum air garam sebagai asupan mineral yang penting bagi kesehatan satwa liar di hutan.
Kebutuhan asupan mineral sebenarnya hanya sedikit bagi tubuh namun keberadaannya harus dipenuhi atau disebut sebagai micro nutrient yang esensial.
Perjalanan menuju sepan dilalui dari penyusuran sungai berbatu ke arah hulu Sungai. Saat perjalanan menuju sepan sekitar pukul 13.00 terdengar suara owa dari arah depan kami. Jarang owa bersuara pada siang hari, biasanya mereka bersuara pada pagi hari hingga sekitar pukul 10.00.
Sampai di sepan kami menemukan berbagai jejak kaki satwa di sekitar sumber garam. Sepan berupa bebatuan dengan rembesan air yang sering didatangi berbagai jenis satwa liar di dalam hutan.
Banyak serangga, lebah dan kupu-kupu yang hinggap di sepan. Tentu mereka juga ingin mendapatkan sumber mineral dari sepan tersebut.
Di sekitar sepan kami juga memasang kamera trap untuk memantau jenis satwa liar apa saja yang datang ke sepan. Bekas jejak kaki mengindikasikan jenis rusa, kijang, pelanduk dan babi hutan yang baru saja mendatangi sepan tersebut.
Namun belum diketahui dengan pasti apakah owa juga menggunakan sepan untuk mendapatkan asupan garam bagi tubuhnya. Hasil kamera trap yang dipasang menghadap sepan tentu yang akan menjawabnya.
Terdapat dua sepan yang ada di sekitar Camp Riset. Sepan dicapai sekitar satu jam dari Camp Riset, terletak pada belokan sungai dengan banyak jejak satwa dan kupu-kupu dilindungi wing bird.
Di depannya ada tempat mengintai satwa untuk fotografi, beberapa bebatuan di sekitar sepan juga juga terlihat bekas dilewati atau tempat beraktivitas satwa. Di sepanjang jalur mendekati sepan bau satwa cukup menyengat saat kami melintas.
Tantangan Konservasi
Menggunakan indikator suara owa dapat membantu monitoring populasi dan sebaran owa di Hutan Wehea.
Pemanfaatan teknologi tersebut ke depannya diharapkan akan lebih efisien karena tidak banyak memerlukan penjelajahan di dalam hutan yang banyak tantangan dan risiko.
Yang diperlukan hanya pemasangan alat perekam suara bioakustik di beberapa lokasi dan koleksi data setelah pemasangan dalam beberapa hari.
Selanjutnya data suara akan dianalisis di stasiun riset atau di kantor. Tantangan selanjutnya adalah kapasitas SDM dalam analisis dan penyediaan alat dan computer dengan spesifikasi tinggi untuk mengolah data akustik yang biasanya ber-giga-gigabite.
Di sisi lain, tantangan konservasi seperti perambahan, pembalakan liar, dan ancaman dari perluasan industri menjadi ancaman nyata bagi kelestarian Hutan Wehea.
Oleh karena itu, perlindungan Hutan Lindung Wehea tidak hanya memerlukan pendekatan berbasis ekologi, tetapi juga melibatkan masyarakat adat Dayak Wehea yang memiliki hubungan historis dan budaya dengan kawasan ini.
Kolaborasi antara pihak pemerintah, peneliti, dan masyarakat lokal menjadi kunci keberhasilan dalam menjaga warisan alam yang tak ternilai ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H