Hari itu cuacana cukup bersahabat, survei orangutan kami anggap cukup untuk hari ini. Namun sebelum kembali ke kamp, kami sempatkan mampir ke bukit sinyal, untuk sekedar cek pesan WA yang masuk.
Ya... begitulah kondisi di dalam hutan, sinyal menjadi sangat berharga, dikejar dan dicari-cari. Sinyal belum stabil, masih timbul tenggelam.
Baru setelah beberapa menit akses data diaktifkan, puluhan pesan WA dari berbagai grup dan kontak masuk bertubi-tubi. Belum sempat membaca satu pesan dari Istri, telepon masuk berdering.
"Hallo, ini Pak Tri Atmoko, ya? Saya Pak Agus. Pak Tri posisi di mana?"
"Iya Pak Agus, saya masih di lapangan, ada apa ya, pak?"
"Sesuai arahan Bu Menteri, Pak Tri ditugaskan pimpinan bergabung dengan tim ekspedisi Pulau Pejantan. Tiga hari lagi berangk... tut... tut.."
Selanjutnya, kubaca pesan terkait rencana tim gabungan ekspedisi ke Pulau Pejantan.
Saat itu, nama pulau tersebut terdengar masih asing bagi telinga saya. Kalo Pejantan Tangguh sering dengar, he-he. Beberapa pesan penting segera kubalas, termasuk kesediaan untuk bergabung dengan tim.
Ekspedisi Pulau Pejantan adalah instruksi langsung dari Bu Menteri KLHK, berdasarkan laporan dari tokoh masyarakat di Kepulauan Riau. Tentang sebuah pulau dengan keanekaragaman hayati yang tinggi.
Informasi tersebut berawal dari sebuah website Institute of Critically Zoologist terkait potensi keanekaragaman hayati yang tinggi di sebuah pulau bernama Pejantan (bisa dilihat di sini).
Menurut website tersebut di pulau ini terdapat ratusan jenis ekosistem baru dengan kekhasan yang unik. Tim yang diketuai Dr. Hendra akan menelusuri kesahihan informasi tersebut.
Malam harinya berkoordinasi dengan tim, dan memberi mandat ke salah seorang kolega untuk melanjutkan tugas. Pagi harinya saya segera kembali ke homebase. Masih ada waktu satu hari untuk mempersiapkan perlengkapan dan administrasi.
Perjalanan dimulai dari Pelabuhan Sri Bintan Pura, Pulau Bintan. Tim gabungan meliputi peneliti dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Dr. Hendra Gunawan, Wanda Kuswanda, Adi Susilo, Tri Atmoko), polhut BKSDA Riau (Sugito, Deddy Saputra Hasnur), syahbandar (Fatahurrahman), dan warga lokal.
Perjalanan menuju Tambelan dengan menggunakan tol laut KM Sabuk Nusantara 62. Perjalanan panjang tersebut ditempuh sekitar 24 jam. Sampai di Tambelan bermalam dahulu untuk koordinasi dan merencanakan teknis perjalanan selanjutnya.
Perjalanan selanjutnya tertunda satu hari karena informasi cuaca buruk terjadi di daerah yang akan dituju. Kesempatan ini kami gunakan untuk berjalan-jalan di Pulau Tambelan, bertemu dengan masyarakat lokal yang ramah. Berbaur dan bercanda dengan anak-anak yang sedang bermain riang.
Perjalanan dari Tambelan menuju Pulau Pejantan menggunakan kapal kayu ditempuh sekitar 8 jam. KM Taurus II yang dicarter khusus untuk kami yang lumayan besar tak sanggup berlayar tenang dengan terpaan ombak dan angin laut yang bertiup kencang.
Anggota tim yang umumnya "orang hutan" dan "orang gunung" dibuatnya mual. Terpaan ombak beberapa kali menyemburkan air masuk ke dalam kapal.
Syahbandar yang ikut dalam tim, melihat cuaca buruk yang terjadi memutuskan kami menepi ke Pulau Mentebung. Demi keamanan dan keselamatan, maka tim bermalam terlebih dahulu dan melanjutkan esok hari dengan prediksi angin pada pagi hari lebih teduh.
Hari berikutnya, meskipun gelombang pagi relatif lebih teduh namun tetap saja membuat kapal tetap terombang-ambing.
Setelah 3 jam berlalu, dikejauhan sudah mulai nampak Pulau Pejantan yang penuh misteri.
Namun KM Taurus II yang kami tumpangi terlalu besar untuk bisa merapat di Pulau Pejantan. Sehingga tim mendarat dengan menggunakan sampan kecil, sedangkan KM tetap di tengah perairan yang relatif dalam.
Sampan kecil hanya memuat tiga orang sekali jalan. Sampan hanya terbuat dari modifikasi drum plastik yang dibelah. Saat digunakan sangat tidak stabil dan goyang-goyang saat didayung. Live jacket kami pakai dan pasang dengan kuat, sebagai pengaman.
Sampai di daratan kami sudah disambut oleh warga local di Pulau Pejantan. Ternyata pulau kecil terpencil ini juga ada penghuninya.
Menurut Pak Mansyur, Ketua RT Pulau Pejantan, setempat warganya ada sebanyak 40 jiwa. Namun keberadaannya mereka minim dengan fasilitas. Satu sekolah dasar saja kondisinya sangat memprihatinkan. Guru yang mengajar juga hanya satu orang dan itupun belum tentu setiap bulan datang.
Kami ajak anak-anak bermain bersama, ngobrol dan bercanda ria dengan kepolosan mereka.
Mereka adalah anak-anak masa depan bangsa yang saat ini jauh dari sentuhan hingar binger pembangunan di luar sana. Namun mereka tetap ceria dengan cita-cita mereka yang sederhana, menjadi nelayan.
Di dampingi oleh Lebo, pemuda lokal berbadan tegap nan santun, kami pun memulai penjelajahan pulau yang dianggap misterius ini.
Pengamatan vegetasi di berapa daerah di pulau tersebut menunjukkan masih ditumbuhi dengan pohon-pohon besar dari Suku Dipterocarpaceae. Daerah pantai ada yang berpasir ada pula yang berupa tebing karang dan sedikit ditumbuhi jenis mangrove.
Beberapa satwa dujumpai seperti biawak, berbagai jenis burung, tupai tiga warna dan jejak kaki monyet ekor panjang di daerah pasir pantai.
Di beberapa tempat di ketinggian di pulau ini tertutup dengan bebatuan yang terbentang luas. Pemandangan laut lepas terbentang luas dari tempat ini. Angin bertiup tanpa henti, sejuk memang namun kami menyadari panas matahari yang sebenarnya terik pasti akan membakar kulit kami. Dari sana kami bisa menikmati birunya langit dan samudera luas. Sungguh indahnya pulau ini.
Dan benar saja, beberapa hari saja sudah nampak kulit dan wajah yang mulai gelap.
Hampir tiap hari kami menikmati beranekaragam jenis ikan laut sebagai menu makan harian. Mulai dengan dibakar, direbus, dan digoreng. Sampai bosan rasanya.
Tidak terapa akhir ekspedisi telah tiba, saatnya berpisah dengan Pulau Pejantan. Berpisah dengan Lebo, Pak Masyur, seluruh warga Pulau Pejantan dan berpisah dengan mata polos anak-anak di sana.
Fakta-fakta lapangan sudah kami dapatnya sebagai laporan ke pimpinan dan Bu Menteri. Kami semua besyukur perjalanan yang Panjang, menegangkan dan penuh bahaya itu telah tuntas dilaksanakan.
Sepeninggal kami, Pulau Pejantan tetap masih banyak menyimpan misteri.
Kisah kami tersimpan dengan baik di bawah ini:
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H