Mohon tunggu...
Trias DL
Trias DL Mohon Tunggu... Administrasi - words are the reflection of pain and happiness

Kebetulan saya suka menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Mentari yang Terbangun Lagi

13 Januari 2019   21:10 Diperbarui: 13 Januari 2019   21:19 297
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 Mentari berjalan dengan lunglai dan gontai. Tubuhnya setengah terhuyung menahan panasnya sengatan terik matahari dikala siang itu. Tempat itu tidak terlalu jauh lagi harusnya. Ingin sekali dia bertanya dengan orang-orang di sekitar komplek, namun keraguan kembali melanda pikirannya. Dia sungguh malu terhadap orang lain, maupun dirinya sendiri. Tidak ada orang yang boleh tahu. Mentari harus menemukan tempat itu sendiri. 

Dia kembali melihat ke secarik kertas di genggamannya. Pikirnya mungkin sebentar lagi dia tiba di tempat tujuannya. Tidak tampak satu pun kendaraan ojek atau angkutan umum di sekitar sini. Sungguh suatu lingkungan yang sepi dan gersang, seperti diabaikan oleh penduduknya sendiri. Komplek yang tidak terlalu ramai ini membuat Mentari masih harus melangkahkan kakinya sebanyak beberapa ratus meter untuk mencapai tempat itu sendiri. 

Sebenarnya dia tahu kalau keraguan kembali mengusik sanubarinya. Kata hatinya kini terdengar seperti terbagi dua, yang mencoba untuk mencegah dirinya dan yang terus mendorongnya. Tetapi, tidak ada cara lain untuk mengatasi kerunyaman situasi yang dihadapinya saat ini. Calon bayi yang bersemayam di dalam rahimnya harus segera digugurkan, sebelum tumbuh semakin besar. Sungguh, ia sangat malu apabila membayangkan orang-orang di sekitarnya mengetahui hal ini. Apa yang akan terjadi? Membayangkannya saja membuat ulu hatinya terasa seperti dihantam dengan godam besar, nyeri sekaligus mual. Nafasnya juga terasa semakin berat. Apalagi mengahadapi kenyataannya? Mentari sendiri meragukan dirinya akan sanggup berada dalam kepahitan realita tersebut.  

Sambil terus berjalan, pikiran Mentari melayang ke berbagai tempat dan waktu yang telah dilalui sepanjang hidupnya. Terlintas dalam benaknya mengenai penyesalan terbesar yang pernah ia rasakan. Terbayang juga beberapa wajah dan nama yang selalu menghantui pikirannya belakangan ini. Mentari menyadari ia pernah salah memahami makna cinta dan apapun yang dilakukan untuk mewujudkannya. 

Mengingat wajah Argo saja, kaki Mentari menjadi terasa semakin lemas untuk melangkah. Seandainya saja dia tidak menuruti kemauan Argo semudah itu. Betapa lemah pendiriannya kalau sudah berhadapan dengan Argo setiap kata-katanya selalu berhasil meruntuhkan prinsipnya. Argo selalu terdengar sangat meyakinkan dalam berbicara, sehingga Mentari merasa tidak perlu bersandar pada logikanya sendiri lagi. Entah kenapa rasanya begitu mudah percaya dengan setiap kata yang terlontar dari mulutnya. 

Tetapi saat ini nasi sudah terlanjur menjadi bubur. Sudah hampir tiga minggu menurut dokter kandungan yang terakhir ia datangi. Itupun dia datangi sendiri tanpa didampingi oleh Argo. Memberitahukan hal ini kepadanya juga bukan salah satu peristiwa yang terbaik dalam hidup Mentari. Ketika mengetahui kehamilannya, Argo hanya berespon acuh, menyisakan kesedihan dan penyesalan yang mendalam di hidup Mentari. Kembali terbayang di benak Mentari apa yang dikatakan Argo dalam menanggapi hal ini, baik setiap kata-kata yang terlontar dari mulutnya. 

 "Kenapa sih kamu bisa sampe hamil, duh...ceroboh banget sih! Yaudah, gugurin saja janinnya. Kalo dilahirin malah bikin repot kan." kata Argo pada saat itu. Dia mengatakannya dengan acuh tanpa melihat mata Mentari. 

Masih terasa begitu menyakitkan ketika mengingat kata-kata Argo tersebut. Baik saat pertama mendengarnya ataupun sampat saat ini hatinya terasa seperti disayat-sayat, sungguh perih. Nafasnya menjadi begitu berat, dadanya juga serasa penuh, seakan rongga dadanya tidak mampu menahan desakan kesedihan dan kekecewaan yang ia rasakan saat ini. 

Fokusnya untuk mencari klinik tersebut juga menjadi kacau. Dengan berusaha sekuatnya, ia kembalikan lagi jiwa dan raganya pada tempatnya setelah pikirannya menerawang kemana-mana. Aneh pikirnya, sulit sekali untuk mencapai tempat yang dimaksudkan. Mentari bingung, katanya tempat itu memang tidak seperti klinik yang resmi dan dari luar terlihat seperti rumah biasa.  

Sengatan matahari terasa semakin panas setiap menitnya bagaikan memanggang tubuhnya hanya dari jarak satu meter diatasnya. Tiba-tiba kepalanya semakin pusing dan tubuhnya terasa lemah. Rasanya berat sekali untuk berjalan beberapa meter ke depan saja. Tenggorokannya juga terasa sangat kering. Tubuhnya butuh beristirahat. Setelah melihat-lihat lingkungan sekitar, untung saja tidak jauh dari tempatnya ada kedai makanan kecil. Mentari menghembuskan nafas dan sedikit lega, lalu dengan berusah payah dia berjalan ke kedai tersebut. 

Di sana, dia memesan minuman dingin dan membeli dua bungkus roti. Betapa sejuknya minuman dingin itu mengguyur tenggorokannya yang sekering abu vulkanik. Mentari baru ingat kalau dia belum makan apapun dari semalam. Beginilah dirinya saat dilanda tekanan batin dan pikiran yang berat. Seluruh pikirannya hanya bisa berkutat pada masalah yang dihadapinya saja. Tubuhnya lalu ia abaikan. Merasa laparpun tidak. Sambil beristirahat sejenak sambil mengunyah roti yang baru saja ia beli, Mentari menghela nafas panjang dan kembali meratapi nasibnya. Ia merasa lebih dari lemah untuk saat ini, lahir dan batin. Kembali terpikirkan mengapa semua ini harus menimpa dirinya. Pikiran-pikiran buruk mulai membayang-bayangi dirinya lagi, membayangkan bagaimana kehidupannya akan menjadi semakin suram setelah ini. 

"Misi kaak...."  

Suara gadis kecil di sampingnya memecahkan lamunan Mentari. Ternyata dia adalah seorang pengamen cilik. Gadis kecil itu menyanyi dengan menggunakan gitar ukulele. Mentari memperhatikan sejenak melihatnya dari atas ke bawah, mungkin usia gadis kecil itu sekitar enam tahun. Tidak terlalu kecil, namun belum cukup umur juga untuk berkeliaran mengamen sendiri pikirnya. 

Sembari gadis itu bernyanyi, Mentari merogoh kantongnya dan mengambil beberapa koin kembalian dari makanan yang dia beli di kedai ini. Dia memberikan beberapa koin kepada gadis kecil tersebut. Setelah menerima uang, gadis kecil itu tidak langsung beranjak pergi. Dia menunduk cukup lama memandang ke arah meja makan tempat Mentari meletakkan minuman dan makanannya. Wajahnya terlihat begitu murung, namun juga seperti ingin menyampaikan sesuatu. Mentari merasa heran, lalu bertanya ke gadis kecil tersebut. 

"Kenapa, dek? Uangnya udah kan?" tanya Mentari dengan lembut. 

Gadis kecil itu tidak langsung menjawab. Setelah terdiam sebentar, dia baru berbicara. 

"Hmm..kak, aku boleh minta rotinya satu aja? Yang kakak lagi makan juga nggak apa-apa" gadis itu bicara dengan sungkan dan ragu-ragu. 

Mentari tertegun ketika mendengarnya. Rupanya gadis kecil ini begitu kelaparan. Mentari berpikir pasti dia belum makan daritadi. Ia merasa sangat iba, membayangkan betapa putus asa dan kelaparannya anak ini sampai meminta makanan sisa darinya. 

"Ya ampun, kamu belom makan dari kapan emangnya?" 

"Dari kemaren siang kak" ekspresi gadis kecil ini terlihat semakin sedih. 

"Eh, yaudah..ini, ini buat kamu"  

Mentari memberikan gadis kecil ini roti yang masih terbungkus dan belum dia makan. Kemudian Mentari mengajaknya untuk duduk di depannya dan makan bersamanya. Mentari juga memesan satu lagi kotak susu dingin untuk gadis kecil ini. Ekspresi gadis kecil itu berangsur-angsur terlihat berubah menjadi lebih cerah saat Mentari memberikannya makanan dan minuman. Setelah selesai makan dan minum susu, Mentari mengajak gadis kecil itu berbincang-bincang. 

"Nama kamu siapa dek?" 

"Syafa kak" 

"Aku Mentari. Oh iya, kenapa kamu ngamen di jalanan? Kamu gak sekolah memang?" 

Syafa mengulum bibirnya, seperti berat untuk mengatakan sesuatu. Wajahnya menunjukkan kesedihan yang begitu mendalam dari dalam hatinya. 

"Nggak pernah kak. Aku gede di jalanan. Aku nggak pernah tahu ibu atau bapak aku yang mana" 

Hati Mentari langsung miris mendengarnya. Malang sekali nasib anak ini. Sepertinya dari lahir dia sudah dibuang oleh orangtuanya, dan karenanya dia harus mengalami kehidupan yang keras seperti sekarang. Lalu ia membandingkan dengan masa kecilnya yang hidup serba berkecukupan. Rasanya Mentari benar-benar kasihan melihat kehidupan anak ini karena tidak mendapat kehidupan masa kecil yang berbahagia dan penuh kasih sayang dari kedua orangtuanya. 

Setelah Syafa selesai makan dan minum, dia pamit pulang kepada Mentari dengan wajah yang berseri-seri. Syafa mengatakan bahwa dia sudah kenyang dan bahagia bisa bertemu dengan orang sebaik Mentari. Mentari juga merasa puas dan lega karena bisa berbagi sedikit kebagahagiaan yang sangat berarti untuk gadis kecil itu. Tidak lama setelah Syafa pergi, Mentari juga meninggalkan kedai itu. Tenaganya mulai pulih kembali. Dibulatkan juga tekadnya untuk menyelesaikan seluruh misi yang ia emban di hari ini. Kemudian, ia menlanjutkan pencarian klinik aborsi yang tidak kunjung ketemu itu. 

Sambil berjalan, Mentari belum bisa berpikir tenang. Sungguh pilihan yang berat untuk mengakhiri hidup dari calon bayi yang dikandungnya ini. Pikirnya, bayi ini bisa saja tumbuh menjadi anak yang lucu, sehat, dan memiliki masa depan yang cerah. Menjadi single parent juga tampaknya tidak terlalu sulit. Selain itu, menggugurkan janin juga bisa beresiko bagi kesehatannya. Apa yang terjadi kalau misalnya aborsi ini gagal dan orangtuanya tahu akan hal ini?  Apakah bisa mengancam nyawanya? Apakah dia akan sangat berdosa? Apakah hidupnya akan bisa baik-baik saja dan normal kembali setelah ini? Mentari kehabisan daya memikirkan semuanya lalu mengembuskan nafas sepanjang-panjangnya. 

Kembali batinnya berkonflik dengan hebat dan menjadi dilema besar bagi Mentari. Dia mulai berpikir apa sebaiknya janin yang dikandungnya ini dibiarkan hidup saja. Namun di satu sisi, kenyataan yang ia hadapi bukanlah hal yang sepele bagi hidupnya. Kelahiran anak yang tidak diharapkan ini pasti juga akan menimbulkan masalah. Mengingat tanggapan Argo tentang kehamilannya saja membuat Mentari merasa muak dan tidak sudi menjumpai dirinya lagi. Pasti dia tidak mau bertanggung jawab, apalagi mengakui bayi yang dikandung Mentari ini adalah anaknya juga.  

Ia hampir putus asa. Rasanya ia ingin sekali pulang ke rumahnya dan terus terang kepada orangtuanya tentang kehamilannya, dan membesarkan anak ini sendiri. Bagaimanapun, ini juga bukan hal yang mudah untuk dilakukan. Mentari tidak memiliki muka lagi rasanya untuk menghadapi orangtuanya. Ibu dan ayahnya saja tidak senang ia berpacaran dengan Argo, apalagi mengetahui bahwa sekarang Mentari mengandung anaknya. Bagaimana pula tanggapan keluarga besar dan tetangganya. Kalau anak ini dipertahankan, dia akan menjadi aib keluarga.  

Ya Tuhan, mengapa semua menjadi seburuk ini. Aku tahu semua ini salah dan dosaku. Namun aku juga tidak mampu melihat anakku harus hidup menderita dan menanggung malu akibat dosaku. 

Tidak sanggup memikirkan ini semua, Mentari berhenti berjalan dan mulai meneteskan air matanya. Saat ini dia merasa sebagai orang yang sangat jahat dan keji. Bagaimana mungkin dia bisa menggugurkan anaknya sendiri. Rasanya ia gagal untuk menjalani hidup sebagai seorang wanita dewasa. Walaupun begitu, dia juga tetap harus menjaga reputasi keluarganya. Sejak kecil memang Mentari ditanamkan tentang pentingnya menjaga nama baik keluarganya. Merusaknya berarti sebuah dosa besar bagi keluarga Mentari. 

Mentari kembali menarik dan menghembuskan nafas panjang. Baiklah, dia sudah membuat keputusan sekarang. Walaupun perbuatan yang akan dia lakukan begitu tercela, namun tidak ada pilihan lain yang tersedia saat ini. Dia tetap akan menggugurkan janin ini apapun resikonya. Lebih baik menanggung dosa seorang diri daripada menanggung aib bagi seluruh anggota keluarga. Dengan yakin, Mentari kembali melihat kertas alamat tempat aborsi yang diberikan oleh Argo tersebut. Harusnya tidak terlalu jauh lagi. Mungkin sekitar satu blok lagi dia akan sampai. Langkahnya terasa semakin berat, namun tetap dia paksakan untuk berjalan. 

Mentari sekarang sangat fokus untuk mencapai klinik tersebut. Dilihatnya, nama jalan di alamat ini ada si seberang jalan yang dia lewati ini. Ketika Mentari hendak menyeberang jalan, tiba-tiba ada suara wanita berteriak kencang sekali dari arah belakang. 

"Mbaaakk...!!! Awas mbaaak, awass!!!!" 

Dengan spontan, Mentari langsung menengok ke arah sumber suara tersebut. Ada seorang wanita paruh baya yang berteriak ke arah dirinya. Wanita tersebut berteriak sambil menunjuk-nunjuk ke arah jalan, seperti akan memberitahukan sesuatu kepadanya. Seketika Mentari menoleh ke arah tersebut, ia melihat ada motor yang sedang melaju cepat ke arah dirinya.  

Mentari sangat terkejut, dia hanya bisa melihat sepeda motor itu  mendekat ke dirinya. Kondisi tubuh dan jiwanya yang rapuh bukanlah kombinasi yang baik untuk berespon dengan cepat pada situasi gawat seperti ini. Saat itu juga rasanya ia kehilangan kendali atas tubuhnya. Dengkulnya bergetar hebat, kakinya serasa sangat kaku untuk digerakkan. Pandangannya seakan-akan berputar dan tidak bisa berpikir apa-apa lagi. Seakan waktu terhenti. Suara wanita di belakang yang berteriak kencang pun makin lama terdengar makin mengecil, sayup-sayup, dan lenyap. 

Setelahnya, semua hanya samar-samar. Mentari berada di posisi telentang dan melihat terangnya langit di siang hari itu, namun dengan pandangan yang buram. Ia juga memperhatikan di mana terdapat orang-orang yang mengelilingi dirinya. Entah kenapa, wajah mereka semua tampak sangat cemas. Beberapa dari orang-orang di sekitarnya juga ada yang berbicara kepadanya, tapi Mentari tidak bisa mendengarnya dengan jelas. Kemudian, tidak ada yang bisa ia rasakan. Tubuh dan pikirannya menjadi mati rasa. Semuanya lalu terasa begitu hampa, sunyi, kemudian gelap gulita. 

********* 

Sayup-sayup Mentari terbangun dan membuka matanya perlahan-lahan. Rasanya tempat ini agak asing. Mentari mencoba mengenali di mana dirinya berada. Baiklah, kini ia tahu dirinya berada dalam ruangan di rumah sakit. Di sekelilingnya terdapat beberapa selang yang terhubung ke tubuhnya. Ibunya sedang tertidur di pinggiran tempat tidurnya. Tubuhnya terasa begitu lemah. Ia begitu heran dan berusaha mengenali semua ini. Ketika bergerak sedikit, rasa sakit hampir terasa menjalar sekujur badannya. Tubuhnya terasa seperti habis dibanting keras-keras dari tempat yang tinggi. Apa yang terjadi dengan dirinya? 

"Mm..maa..." Mentari memanggil ibunya lirih. 

Ibunya segera bangun, wajahnya langsung berseri-seri melihat putrinya sadar kembali. 

"Syukur nak, mama khawatir banget sama kamu" kata ibunya sambil mengelus-elus rambut Mentari. Mentari masih belum bisa mengenali apa yang terjadi pada dirinya. 

"Tari kenapa, Ma? Kenapa bisa ada disini?" 

Ibu Mentari berusaha memilih kata-kata yang tepat untuk putrinya yang baru siuman, "Sudah itu kita bahas nanti saja, Mentari. Yang penting kamu sudah sadar sekarang" 

"Nggak ma, Mentari harus tahu! Aku kenapa, ma?" Mentari masih bingung melihat banyaknya jahitan dan luka di tangan dan kakinya. Ia merasa harus mengetahui apa yang sedang terjadi pada dirinya. 

Ibu Mentari menghembuskan nafas berat. "Oke kalo kamu maksa...kamu abis ketabrak motor, sayang. Tapi beruntung banget kamu nggak luka parah" 

Mentari mengernyitkan keningnya, dia merasa heran. Logikanya terasa seperti belum bisa memproses kata-kata yang diucapkan ibunya barusan. Apakah benar yang diberitahu ibunya? Kemudian dia mulai mengingat-ingat. Hal terakhir yang ada di memorinya adalah suara teriakan wanita di pinggir jalan. Kemudian motor mengebut, orang-orang di sekitarnya, dan semuanya gelap. Mentari tertegun dan memejamkan mata. Ah iya...dia habis mengalami kecelakaan. Mengetahui tentang kecelakaan ini masih terasa cukup mengguncang dirinya. Kepalanya kembali terasa berputar-putar. Jantungnya memompa dengan keras. 

"Muka kamu pucat banget sayang, yaudah kamu tidur lagi ya. Mama di sini terus kok" 

Semakin keras ia berusaha untuk mengingat, semakin lemah tubuhnya, dan semakin mengaduk-aduk isi kepalanya. Mentari merasa tidak berdaya untuk saat ini. Sepertinya ada hal yang luput dari ingatannya, namun dia masih terlalu pusing untuk mengingat itu semua. Kemudian Mentari kembali tertidur. 

 

*********** 

Mentari sudah bangun lagi. Ia merasa baikan, dan kini dia berusaha mengingat-ingat apa yang sedang dia lakukan  di sana. Matanya terbelalak. Astaga, dia ingat semuanya! Jantungnya berdetak keras mengingat apa yang dia telah lalui sebelum kecelakaan yang menimpanya. Bodoh sekali, apa yang telah dia lakukan, pikirnya. Kembali pikiran tentang rencana aborsi membuatnya merasa tegang. Ia dapat merasakan urat-urat di wajah dan rahangnya mengeras. Sejuta ketakutan kembali menteror dirinya. Apakah ibunya tahu kalau dia sedang hamil? Bagaimana reaksi ibunya kalau tahu? Bagaimana nasib anak ini kalau sampai lahir? Apakah ayah anak ini mau bertanggung jawab? Pikiran-pikiran ini mulai menghantui benaknya kembali dan membuatnya panik. 

Tiba-tiba, ibu Mentari kembali masuk ke kamar perawatan. Mentari langsung berusaha terlihat tenang dan menutupi rasa gugupnya. 

"Kamu sudah enakan, sayang?" 

"Sudah, ma. Hmmm, ada y..yyang m..me..mentari mau bilang sama mama" Mentari terasa begitu tercekat, seperti ada bola bekel yang tertelan di tenggorokannya. 

"Iya, kenapa?" 

Kata-kata selanjutnya yang mau ia ucapkan terasa semakin berat untuk keluar dari mulutnya. Nafasnya hanya bisa ia keluarkan sedikit demi sedikit. Ia sangat ingin kabur dan menyembunyikan hal ini semasa hidupnya. Namun hari ini sungguh bencana. Tidak ada tempat lagi baginya untuk menyembunyikan hal ini dari ibunya. 

"Mm...m..mama, aku...a..aakuu..."  

Sial, pikirnya kenapa susah sekali ia bicara tentang hal ini.  

"Sudah nak, kamu tenang saja sekarang. Mama janji keluarga kita gak ada yang tahu soal ini." 

Mentari menganga mendengar ucapan ibunya. Di dalam otaknya seperti ada kilat yang membuat pikirannya beku untuk beberapa detik. 

"Mm..maksudnya, ma? Kok mama tahu? Mama tahu darimana?" 

"Mama baru tahu hari ini, Tari. Sudah sekitar tiga minggu ya kayaknya kandungan kamu kata dokter" 

"Ya ampun....." 

Mentari terkulai lemas mendengarnya. Tidak menyangka ibunya akan mengetahuinya seperti ini. 

"Tapi semua sudah selesai, Tari" 

"Hah? Maksudnya?" 

Ibu Mentari menggenggam tangannya halus sambil tersenyum penuh kepuasan. 

"Waktu kamu ketabrak motor, kamu gak lama lagi langsung keguguran. Darah kamu ngalir banyak banget, dan janinnya gak bisa diselamatkan" 

Perasaan Mentari bercampur aduk mendengar kabar itu. Dirinya kehabisan kata-kata. Hanya ekspresinya yang sanggup menggambarkan apa yang dia rasakan saat ini. 

"Yaudahlah, kita ambil positifnya saja. Kamu gak luka parah, dan bisa sekaligus gugurin kandungan kamu. Toh kalo gak ada peristiwa ini mama tetap akan suruh kamu aborsi. Nggak rela mama gedein anak kamu sama Argo. Dia cuma anak band nggak jelas. Kamu juga bakalan jadi aib terbesar buat keluarga kita" 

Ibu Mentari tersenyum dingin, berbalik, lalu berjalan meninggalkan ruangan. 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun