"Nama kamu siapa dek?"Â
"Syafa kak"Â
"Aku Mentari. Oh iya, kenapa kamu ngamen di jalanan? Kamu gak sekolah memang?"Â
Syafa mengulum bibirnya, seperti berat untuk mengatakan sesuatu. Wajahnya menunjukkan kesedihan yang begitu mendalam dari dalam hatinya.Â
"Nggak pernah kak. Aku gede di jalanan. Aku nggak pernah tahu ibu atau bapak aku yang mana"Â
Hati Mentari langsung miris mendengarnya. Malang sekali nasib anak ini. Sepertinya dari lahir dia sudah dibuang oleh orangtuanya, dan karenanya dia harus mengalami kehidupan yang keras seperti sekarang. Lalu ia membandingkan dengan masa kecilnya yang hidup serba berkecukupan. Rasanya Mentari benar-benar kasihan melihat kehidupan anak ini karena tidak mendapat kehidupan masa kecil yang berbahagia dan penuh kasih sayang dari kedua orangtuanya.Â
Setelah Syafa selesai makan dan minum, dia pamit pulang kepada Mentari dengan wajah yang berseri-seri. Syafa mengatakan bahwa dia sudah kenyang dan bahagia bisa bertemu dengan orang sebaik Mentari. Mentari juga merasa puas dan lega karena bisa berbagi sedikit kebagahagiaan yang sangat berarti untuk gadis kecil itu. Tidak lama setelah Syafa pergi, Mentari juga meninggalkan kedai itu. Tenaganya mulai pulih kembali. Dibulatkan juga tekadnya untuk menyelesaikan seluruh misi yang ia emban di hari ini. Kemudian, ia menlanjutkan pencarian klinik aborsi yang tidak kunjung ketemu itu.Â
Sambil berjalan, Mentari belum bisa berpikir tenang. Sungguh pilihan yang berat untuk mengakhiri hidup dari calon bayi yang dikandungnya ini. Pikirnya, bayi ini bisa saja tumbuh menjadi anak yang lucu, sehat, dan memiliki masa depan yang cerah. Menjadi single parent juga tampaknya tidak terlalu sulit. Selain itu, menggugurkan janin juga bisa beresiko bagi kesehatannya. Apa yang terjadi kalau misalnya aborsi ini gagal dan orangtuanya tahu akan hal ini?  Apakah bisa mengancam nyawanya? Apakah dia akan sangat berdosa? Apakah hidupnya akan bisa baik-baik saja dan normal kembali setelah ini? Mentari kehabisan daya memikirkan semuanya lalu mengembuskan nafas sepanjang-panjangnya.Â
Kembali batinnya berkonflik dengan hebat dan menjadi dilema besar bagi Mentari. Dia mulai berpikir apa sebaiknya janin yang dikandungnya ini dibiarkan hidup saja. Namun di satu sisi, kenyataan yang ia hadapi bukanlah hal yang sepele bagi hidupnya. Kelahiran anak yang tidak diharapkan ini pasti juga akan menimbulkan masalah. Mengingat tanggapan Argo tentang kehamilannya saja membuat Mentari merasa muak dan tidak sudi menjumpai dirinya lagi. Pasti dia tidak mau bertanggung jawab, apalagi mengakui bayi yang dikandung Mentari ini adalah anaknya juga. Â
Ia hampir putus asa. Rasanya ia ingin sekali pulang ke rumahnya dan terus terang kepada orangtuanya tentang kehamilannya, dan membesarkan anak ini sendiri. Bagaimanapun, ini juga bukan hal yang mudah untuk dilakukan. Mentari tidak memiliki muka lagi rasanya untuk menghadapi orangtuanya. Ibu dan ayahnya saja tidak senang ia berpacaran dengan Argo, apalagi mengetahui bahwa sekarang Mentari mengandung anaknya. Bagaimana pula tanggapan keluarga besar dan tetangganya. Kalau anak ini dipertahankan, dia akan menjadi aib keluarga. Â
Ya Tuhan, mengapa semua menjadi seburuk ini. Aku tahu semua ini salah dan dosaku. Namun aku juga tidak mampu melihat anakku harus hidup menderita dan menanggung malu akibat dosaku.Â