Tiba-tiba, ibu Mentari kembali masuk ke kamar perawatan. Mentari langsung berusaha terlihat tenang dan menutupi rasa gugupnya.Â
"Kamu sudah enakan, sayang?"Â
"Sudah, ma. Hmmm, ada y..yyang m..me..mentari mau bilang sama mama"Â Mentari terasa begitu tercekat, seperti ada bola bekel yang tertelan di tenggorokannya.Â
"Iya, kenapa?"Â
Kata-kata selanjutnya yang mau ia ucapkan terasa semakin berat untuk keluar dari mulutnya. Nafasnya hanya bisa ia keluarkan sedikit demi sedikit. Ia sangat ingin kabur dan menyembunyikan hal ini semasa hidupnya. Namun hari ini sungguh bencana. Tidak ada tempat lagi baginya untuk menyembunyikan hal ini dari ibunya.Â
"Mm...m..mama, aku...a..aakuu..."Â Â
Sial, pikirnya kenapa susah sekali ia bicara tentang hal ini. Â
"Sudah nak, kamu tenang saja sekarang. Mama janji keluarga kita gak ada yang tahu soal ini."Â
Mentari menganga mendengar ucapan ibunya. Di dalam otaknya seperti ada kilat yang membuat pikirannya beku untuk beberapa detik.Â
"Mm..maksudnya, ma? Kok mama tahu? Mama tahu darimana?"Â
"Mama baru tahu hari ini, Tari. Sudah sekitar tiga minggu ya kayaknya kandungan kamu kata dokter"Â