Tidak sanggup memikirkan ini semua, Mentari berhenti berjalan dan mulai meneteskan air matanya. Saat ini dia merasa sebagai orang yang sangat jahat dan keji. Bagaimana mungkin dia bisa menggugurkan anaknya sendiri. Rasanya ia gagal untuk menjalani hidup sebagai seorang wanita dewasa. Walaupun begitu, dia juga tetap harus menjaga reputasi keluarganya. Sejak kecil memang Mentari ditanamkan tentang pentingnya menjaga nama baik keluarganya. Merusaknya berarti sebuah dosa besar bagi keluarga Mentari.Â
Mentari kembali menarik dan menghembuskan nafas panjang. Baiklah, dia sudah membuat keputusan sekarang. Walaupun perbuatan yang akan dia lakukan begitu tercela, namun tidak ada pilihan lain yang tersedia saat ini. Dia tetap akan menggugurkan janin ini apapun resikonya. Lebih baik menanggung dosa seorang diri daripada menanggung aib bagi seluruh anggota keluarga. Dengan yakin, Mentari kembali melihat kertas alamat tempat aborsi yang diberikan oleh Argo tersebut. Harusnya tidak terlalu jauh lagi. Mungkin sekitar satu blok lagi dia akan sampai. Langkahnya terasa semakin berat, namun tetap dia paksakan untuk berjalan.Â
Mentari sekarang sangat fokus untuk mencapai klinik tersebut. Dilihatnya, nama jalan di alamat ini ada si seberang jalan yang dia lewati ini. Ketika Mentari hendak menyeberang jalan, tiba-tiba ada suara wanita berteriak kencang sekali dari arah belakang.Â
"Mbaaakk...!!! Awas mbaaak, awass!!!!"Â
Dengan spontan, Mentari langsung menengok ke arah sumber suara tersebut. Ada seorang wanita paruh baya yang berteriak ke arah dirinya. Wanita tersebut berteriak sambil menunjuk-nunjuk ke arah jalan, seperti akan memberitahukan sesuatu kepadanya. Seketika Mentari menoleh ke arah tersebut, ia melihat ada motor yang sedang melaju cepat ke arah dirinya. Â
Mentari sangat terkejut, dia hanya bisa melihat sepeda motor itu  mendekat ke dirinya. Kondisi tubuh dan jiwanya yang rapuh bukanlah kombinasi yang baik untuk berespon dengan cepat pada situasi gawat seperti ini. Saat itu juga rasanya ia kehilangan kendali atas tubuhnya. Dengkulnya bergetar hebat, kakinya serasa sangat kaku untuk digerakkan. Pandangannya seakan-akan berputar dan tidak bisa berpikir apa-apa lagi. Seakan waktu terhenti. Suara wanita di belakang yang berteriak kencang pun makin lama terdengar makin mengecil, sayup-sayup, dan lenyap.Â
Setelahnya, semua hanya samar-samar. Mentari berada di posisi telentang dan melihat terangnya langit di siang hari itu, namun dengan pandangan yang buram. Ia juga memperhatikan di mana terdapat orang-orang yang mengelilingi dirinya. Entah kenapa, wajah mereka semua tampak sangat cemas. Beberapa dari orang-orang di sekitarnya juga ada yang berbicara kepadanya, tapi Mentari tidak bisa mendengarnya dengan jelas. Kemudian, tidak ada yang bisa ia rasakan. Tubuh dan pikirannya menjadi mati rasa. Semuanya lalu terasa begitu hampa, sunyi, kemudian gelap gulita.Â
*********Â
Sayup-sayup Mentari terbangun dan membuka matanya perlahan-lahan. Rasanya tempat ini agak asing. Mentari mencoba mengenali di mana dirinya berada. Baiklah, kini ia tahu dirinya berada dalam ruangan di rumah sakit. Di sekelilingnya terdapat beberapa selang yang terhubung ke tubuhnya. Ibunya sedang tertidur di pinggiran tempat tidurnya. Tubuhnya terasa begitu lemah. Ia begitu heran dan berusaha mengenali semua ini. Ketika bergerak sedikit, rasa sakit hampir terasa menjalar sekujur badannya. Tubuhnya terasa seperti habis dibanting keras-keras dari tempat yang tinggi. Apa yang terjadi dengan dirinya?Â
"Mm..maa..." Mentari memanggil ibunya lirih.Â
Ibunya segera bangun, wajahnya langsung berseri-seri melihat putrinya sadar kembali.Â