"Syukur nak, mama khawatir banget sama kamu" kata ibunya sambil mengelus-elus rambut Mentari. Mentari masih belum bisa mengenali apa yang terjadi pada dirinya.Â
"Tari kenapa, Ma? Kenapa bisa ada disini?"Â
Ibu Mentari berusaha memilih kata-kata yang tepat untuk putrinya yang baru siuman, "Sudah itu kita bahas nanti saja, Mentari. Yang penting kamu sudah sadar sekarang"Â
"Nggak ma, Mentari harus tahu! Aku kenapa, ma?" Mentari masih bingung melihat banyaknya jahitan dan luka di tangan dan kakinya. Ia merasa harus mengetahui apa yang sedang terjadi pada dirinya.Â
Ibu Mentari menghembuskan nafas berat. "Oke kalo kamu maksa...kamu abis ketabrak motor, sayang. Tapi beruntung banget kamu nggak luka parah"Â
Mentari mengernyitkan keningnya, dia merasa heran. Logikanya terasa seperti belum bisa memproses kata-kata yang diucapkan ibunya barusan. Apakah benar yang diberitahu ibunya? Kemudian dia mulai mengingat-ingat. Hal terakhir yang ada di memorinya adalah suara teriakan wanita di pinggir jalan. Kemudian motor mengebut, orang-orang di sekitarnya, dan semuanya gelap. Mentari tertegun dan memejamkan mata. Ah iya...dia habis mengalami kecelakaan. Mengetahui tentang kecelakaan ini masih terasa cukup mengguncang dirinya. Kepalanya kembali terasa berputar-putar. Jantungnya memompa dengan keras.Â
"Muka kamu pucat banget sayang, yaudah kamu tidur lagi ya. Mama di sini terus kok"Â
Semakin keras ia berusaha untuk mengingat, semakin lemah tubuhnya, dan semakin mengaduk-aduk isi kepalanya. Mentari merasa tidak berdaya untuk saat ini. Sepertinya ada hal yang luput dari ingatannya, namun dia masih terlalu pusing untuk mengingat itu semua. Kemudian Mentari kembali tertidur.Â
Â
***********Â
Mentari sudah bangun lagi. Ia merasa baikan, dan kini dia berusaha mengingat-ingat apa yang sedang dia lakukan  di sana. Matanya terbelalak. Astaga, dia ingat semuanya! Jantungnya berdetak keras mengingat apa yang dia telah lalui sebelum kecelakaan yang menimpanya. Bodoh sekali, apa yang telah dia lakukan, pikirnya. Kembali pikiran tentang rencana aborsi membuatnya merasa tegang. Ia dapat merasakan urat-urat di wajah dan rahangnya mengeras. Sejuta ketakutan kembali menteror dirinya. Apakah ibunya tahu kalau dia sedang hamil? Bagaimana reaksi ibunya kalau tahu? Bagaimana nasib anak ini kalau sampai lahir? Apakah ayah anak ini mau bertanggung jawab? Pikiran-pikiran ini mulai menghantui benaknya kembali dan membuatnya panik.Â