Ma, berta minggu depan disuruh guru ikut lomba nari mewakili sekolah,
kuberanikan bicara dengan mama, ditengah kesibukan kerjanya.
Oh, pantas dari kemarin kau nari-nari terus mama lihat. Baguslah. Jawab mama dengan santai
Tapi ma, yang ikut lomba mesti bayar, hanya bayar sebagian kok ma, karena sisanya sudah dibantu sekolah. Kita bayar cuma tiga puluh lima ribu.
Gak usahlah kau ikut-ikut, kau tahu sendiri uang segitu bisa untuk makan dan ongkos sekolahmu. Cobalah kau prihatin.
Jawab mama dengan santai pula.
Dadaku terasa sesak mendengar jawaban mama, sambil menahan air mata yang siap mendarat di pipi, aku hanya terdiam. Kubiarkan mama terus berbicara.
Lagipula, aneh sekali sekolahmu itu, kau sudah latihan biar menang nanti kau di lomba, tetapi kau juga yang harus membayar. Gak pentinglah ikut-ikut seperti itu, yang penting sekarang kamu belajar benar-benar. Sambung mama
Tak sanggup lagi untuk berargumentasi dengan mama, akhirnya aku hanya terdiam dan memilih pergi meninggalkan mama tanpa menjawab apapun ucapan mama.
Dirumah aku luapkan semua emosi, menangis seadanya. Semua peristiwa yang menyedihkan muncul kembali dalam ingatan. Kejadian kepergian bapak merubah semua, aku benci dengan kondisi ini, aku benci hidup ini, aku benci mama, aku benci mengapa bukan bapak yang masih disini. Karena rasa kebencian yang mendalam ternyata dapat merubah menjadi sebuah kejahatan. Aku tahu betul mama menyimpan uang-uangnya, entah setan apa yang merasuk dengan keberanian aku curi uang mama. rasa benci, marah dan ketakutan menjadi satu.
-------------------