Sore saat hujan
'Berta, kurang kuat kamu tenaganya, keluh mama'
'Ya ma, ini juga udah kuat , aku capek ini, balasku dengan ketus'
Kegiatan mengerok mama menjadi rutinitas seminggu sekali, layaknya obat dari segala penyakit mama. Terlebih hanya diriku saja yang bisa mama andalkan untuk mengeksekusi punggungnya sedangkan adikku menjadi asisten yang bertugas meracik minyak goreng dengan bawang merah geprek.
'Udahlah itu, udah. Lama-lama mama disini, gak ada uang kita nanti.' Ucap mama sambil memakai bajunya, dengan gerakan cepat mama pun pergi.
--------------------------------
Ada pepatah tertulis hidup bagaikan roda yang berputar. Ada saat titik kehidupan kita santai diatas dan terkadang tergilas dibawah, namun jauh berbeda dengan kehidupanku yang bagaikan roda terlepas dari porosnya. Berantakan.
Semenjak bapak meninggal secara aklamasi mama megambil alih semua kebijakan dan tanggung jawab dirumah alhasil kehidupan keluarga kami berubah secara total. Kepergian bapak bukan hanya meninggalkan kesedihan yang dalam tetapi juga meninggalkan hutang yang menjamur dimana-mana.Â
Biaya pengobatan bapak selama hidup dan biaya kehidupan keluarga tak lepas dari kontribusi para tetangga yang sekedar membawakan makanan, saudara --saudara yang meminjamkan uang, guru-guru meminjamkan buku sekolah, serta tak jarang mama kesekolah untuk bernegosiasi dengan tata usaha sekolah tentang masalah pembayaran sekolah. Satu-satunya yang disyukuri mama atas kepergian bapak adalah ilmu menambal ban.Â
Mama sering membantu bapak dalam menjalankan bengkel kecil bapak. Karena tidak semua pelanggan mampu dikerjakan bapak, maka perlahan namun pasti bapak dapat menularkan ilmu paling dasar dalam perbaikan motor yaitu menambal ban motor yang akhirnya menjadi modal dasar mama dalam mencari nafkah.
Jika mama menggantikan tugas bapak maka secara otomatis aku naik tingkat dengan  menggantikan tugas mama, sebut saja seperti memasak, mencuci, membersihkan rumah, menyetrika pakaian menjadi rutinitas hari-hari.Â
Alhasil aku hampir tak ada waktu untuk bermain, atau sekedar bermalas-malasan. Terkadang aku harus berbohong dengan alasan tugas sekolah tetapi kejadian seperti itu selalu berujung pada pukulan dan teriakan mama. Entah apa karena mama termasuk dalam kategori pekerja kasar, dan selalu bertemu dengan kebanyakan laki-laki maka secara naluri mama menjadi sosok yang jauh dari gambaran seorang wanita yang penyayang, atau sekedar lembut dalam bicara.Â
Meja riasnya sudah tidak  terpajang sekedar bedak atau lipstick lagi.  Dimataku dan adikku mama menjadi orang yang menyeramkan, dia akan marah jika kami melakukan kesalahan. Dia tidak segan-segan memukul dan menghukum kami, dan hukuman tingkat paling parah adalah saat mama hanya memperbolehkan aku makan 1 kali sehari, hanya karena aku lupa mematikan kompor yang berefek pada gosongnya makanan untuk hari itu.
Melihat perubahan yang cukup besar pada mama, tidak sedikit saudara-saudara mencarikan laki-laki untuk mama dengan tujuan agar mama tidak berjuang sendiri untuk kehidupan kami atau sekedar mengembalikan sisi kewanitaan mama. Dari mulai yang masih perjaka tua sampai duda beranak sudah cukup banyak dikenalkan kepada mama.Â
Tetapi usaha itu selalu berakhir dengan gagal. Mama selalu menolak dan parahnya mama selalu mempunyai cara agar terlepas dari perjodohan, dari pura-pura sakit atau kabur dari belakang rumah termasuk salah satu cara yang ampuh untuk menghindari laki-laki yang datang kerumah. Harapanku untuk memulai kehidupan yang barupun sirna. Terkadang aku hanya membayangkan seperti apa masa depanku nanti, jika melihat kondisiku saat ini semakin menipiskan segala harapan dan cita-citaku.
Hidupku layaknya sudah digariskan hanya untuk bekerja dan belajar, tak ada waktu untuk bermain. Satu-satunya waktu yang bisa aku andalkan untuk bermain adalah hari minggu. Dimana aku dan adikku bergereja. Waktu ini sangat berharga karena mama tidak ada bersama atau bergereja dengan kami.Â
Mama lebih memilih bersekutu dengan obeng, kompresor dan alat-alat bengkel lainnya yang dia percaya lebih pasti memberikan rezeki. Kebebasan ini pasti aku habiskan untuk bermain atau berujung pada berbohong dengan alasan latihan paduan suara atau pendalaman alkitab dan alasan ini selalu berhasil. Mama tidak berkutik jika alasannya mengenai urusan gereja, mungkin mama berpikir itu salah satu cara ibadah dia kepada Tuhan dengan mendelegasikan anaknya.
 Seakan menyadari terbatasnya hidup kami, aku tak pernah meminta apapun kepada mama tentang keperluan pribadi diriku sendiri. jika ada acara sekolah seperti study tour atau acara-acara diluar jam sekolah, aku lebih memilih diam dan tak pernah memberi tahu apalagi meminta untuk dipenuhi. Hingga muncul satu keinginan yang sangat ingin aku wujudkan, dan aku tahu persis apa jawaban mama nanti.Â
Disekolah aku terpilih untuk mewakili sekolah untuk mengikuti lomba menari tradisional. Ingin rasanya aku sampaikan ke mama dengan bangga, tetapi aku takut mama akan menyinggung masalah aku yang tak bisa membagi waktu denga tugas rumah, ditambah memang ada biaya yang ditanggung oleh murid dalam perlombaan ini, dan sudah pasti mama tidak akan rela memberi uang demi sebuah perlombaan menari.Â
Dengan keberanian dan tekad dalam diri, akhirnya aku merahasiakan ini dari mama. Untuk menghindari kecurigaan mama, aku menyelesaikan semua tugas rumah baru kemudian aku berlatih dengan alasan kelas tambahan disekolah. Sejauh ini cara itu aman walaupun terkadang mengharuskan aku membolos latihan, dan berlatih sendiri dirumah.Â
Tidak jarang mama  mendapati aku menari sambil menggumam lagu-lagu, dan tiap mama bertanya aku hanya menjawab sedang menghafal tugas menari di sekolah. Hingga tiba juga waktunya untuk pembayaran administrasi untuk mengikuti lomba.Â
Walaupun memang biayanya tidak besar, namun aku tahu betul biaya ini tidak akan menjadi prioritas. Perasaan gelisah mulai menyerang, dalam diri aku harus mengatakan ke mama, tetapi disatu sisi aku tidak siap dengan jawaban mama yang pasti aku sudah tahu betul pada akhirnya mama tidak akan mewujudkannya. Dengan sisa-sisa keberanian akhirnya aku menyampaikan ke mama.
Ma, berta minggu depan disuruh guru ikut lomba nari mewakili sekolah,
kuberanikan bicara dengan mama, ditengah kesibukan kerjanya.
Oh, pantas dari kemarin kau nari-nari terus mama lihat. Baguslah. Jawab mama dengan santai
Tapi ma, yang ikut lomba mesti bayar, hanya bayar sebagian kok ma, karena sisanya sudah dibantu sekolah. Kita bayar cuma tiga puluh lima ribu.
Gak usahlah kau ikut-ikut, kau tahu sendiri uang segitu bisa untuk makan dan ongkos sekolahmu. Cobalah kau prihatin.
Jawab mama dengan santai pula.
Dadaku terasa sesak mendengar jawaban mama, sambil menahan air mata yang siap mendarat di pipi, aku hanya terdiam. Kubiarkan mama terus berbicara.
Lagipula, aneh sekali sekolahmu itu, kau sudah latihan biar menang nanti kau di lomba, tetapi kau juga yang harus membayar. Gak pentinglah ikut-ikut seperti itu, yang penting sekarang kamu belajar benar-benar. Sambung mama
Tak sanggup lagi untuk berargumentasi dengan mama, akhirnya aku hanya terdiam dan memilih pergi meninggalkan mama tanpa menjawab apapun ucapan mama.
Dirumah aku luapkan semua emosi, menangis seadanya. Semua peristiwa yang menyedihkan muncul kembali dalam ingatan. Kejadian kepergian bapak merubah semua, aku benci dengan kondisi ini, aku benci hidup ini, aku benci mama, aku benci mengapa bukan bapak yang masih disini. Karena rasa kebencian yang mendalam ternyata dapat merubah menjadi sebuah kejahatan. Aku tahu betul mama menyimpan uang-uangnya, entah setan apa yang merasuk dengan keberanian aku curi uang mama. rasa benci, marah dan ketakutan menjadi satu.
-------------------
Aku tidak berani menatap wajah mama setelah kejadian itu, aku yakin mama belum menyadari jika uangnya hilang. Karena aku sangat tahu jika mama mengetahui perbuatanku, sudah pasti aku harus siap dipukuli, diteriaki, atau bahkan aku tidak diperbolehkan sekolah. Untuk berjaga-jaga aku sudah mengantisipasi  jika mama sampai mengusir aku, akan melarikan diri ke rumah tante yang tak jauh dari rumah.
Disekolah saat semua semangat berlatih untuk lomba yang semakin dekat, berbalik terbalik dengan diriku yang semakin tak bergairah. Seringkali aku melakukan kesalahan selama latihan. Sampai akhirnya guru tari merasa ada yang tak beres dengan diriku dan mendekati diriku.
Maaf bu saya tidak bisa mengikuti lomba ini.
Hanya itu yang sanggup aku katakan saat itu, karena setelah itu saya hanya menangis membayangkan wajah mama yang harus setiap harinya harus membongkar ban demi ban untuk mendobrak hidup kami dari keterpurukan. Dibiarkan wajahnya pekat oleh debu dan kotoran oli demi cerahnya masa depan anaknya, ditinggalkannya sisi lembutnya agar tak ada yang menganggap dia lemah dan anaknya tak kehilangan sosok ayah.
--------------------
Saat pulang sekolah akhirnya adikku menceritakan bahwa mama sudah mengetahui apa yang sudah aku lakukan. Perasaan takut sekaligus pasrah mulai menghantui diriku. Dirumah aku tidak bertemu dengan mama, tidak lagi kuantarkan makan siangnya, kuhabiskan hari-hariku dirumah. Hingga malam aku ingin tidur tak kulihat kehadiran mama, tak biasanya mama belum pulang dari bengkel. Akhirnya kutuliskan permohonan maaf dalam kertas,
Mama, maafin berta
Berta ambil uang mama. Berta udah gak prihatin sama mama.
Berta janji akan nurut sama mama.
Berta gak mau kehilangan mama lagi.
Aku sayang sama mama.
Kuselipkan uang yang aku ambil dalam lipatan kertas yang becek oleh airmataku. Berharap mama akan membacanya. Benar saja hingga mama pulang aku masih terjaga karena tak tenang. Perasaan takut mulai menyerang. Ku tutup mataku bermaksud berpura-pura tidur tetapi kupaksa kupingku mencari tahu apa yang sedang mama lakukan. Terdengar bunyi kertas, dan kuduga mama sedang membaca surat yang kutulis. Lalu hening
Ku mendengar mama memanggil namaku berkali-kali seolah-olah mama menyadari aku berpura-pura tidur, tetapi rasa takutku mulai menyerang. Aku memilih pura-pura tidak mendengar dan meremas-remas selimutku dengan ketakutan. Aku mendengar mama membuka tirai pintu kamarku, dia nyalakan lampu yang tak lama kemudia dia matikan kembali, aku mendengar langkahnya menuju tempat tidurku dan duduk disebelahku.Â
Jantungku mulai berdetak tak beraturan seiring dengan kakiku yang mendadak menjadi dingin, hingga kurasakan mama mengusap dahiku, membelai rambutku lembut, ku dengar tangisan yang tertahan hingga yang terdengar adalah pekikan tenggorokan.
Maafkan mama, maafkan mama berta, ucap mama dengan lembut namun terdengar jelas dikupingku.
Rasanya ingin kubuka mataku dan memeluk mama, tetapi tubuh rasanya mati rasa tak bergerak. Hingga akhirnya mama mencium dahiku dan meninggalkan tetesan air matanya yang akhirnya menyatu dengan air mataku.
Pagi harinya kudapati mama menggunakan kembali pakaian wanitanya lengkap dengan riasan wajah, rasanya rindu sekali melihat sosok itu. Tanpa berpikir panjang aku memeluknya.
Mama akan antar kamu kesekolah, mama akan lihat kamu menari.
Kamu tidak akan pernah kehilangan mama.
Tak ada yang bisa aku lakukan selain menangis dalam pelukannya.
---------------
Roda kehidupan bisa membawa kita tergilas dalam kebahagiaan maupun kedukaan
Tetapi jangan biarkan senyum terlepas dari porosnya.
20 September 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H