Mohon tunggu...
Toto Karyanto
Toto Karyanto Mohon Tunggu... Wiraswasta - Bukan yang banyak pasti baik, tapi yang baik pastilah yang banyak.

Orang biasa

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Tangis Seorang Guru Tua (Bagian II)

3 Desember 2009   21:46 Diperbarui: 10 November 2018   02:11 265
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bersama teman-teman guru sepulang dari perantauan. Ibu Atiatoen paling kanan (1953)

Rembang, sebuah kota kecil di bibir Pantai Utara Pulau Jawa, menyimpan sejarah besar bagi kaum perempuan Indonesia. Di sana Ibu Kartini lahir dan dibesarkan. Di sana pula Ilah dan empat guru muda lulusan Sekolah Guru Putri (SGP) Jogja untuk kali pertama ditugaskan selaku guru SD. Mereka tinggal di sebuah pemondokan milik keluarga Kusumo, tak jauh dari alun-alun kota. Ilah ditempatkan sebagai guru kelas VI di sebuah SD yang kebanyakan muridnya adalah anak-anak nelayan. 

Ketika menghadap pak Wongso, sang Kepala Sekolah yang masih suka berpakaian tradisional Jawa, Ilah mendapat sedikit penjelasan tentang suasana sekolah dan murid-murid yang akan diasuhnya. 

" Nak, bapak percayakan murid-murid kelas VI yang selama ini menjadi tanggung-jawab saya", begitu kata-kata Pak Wongso sebelum mengantar Ilah memasuki ruang kelas yang sangat gaduh. 

Setelah Ilah diperkenalkan, Pak Wongso bergegas keluar ruang. Ilah menatap satu demi satu wajah anak-anak asuhnya. " Masya Allah ", teriak batinnya. 

Sebagian besar murid kelas yang diasuhnya adalah laki-laki yang sepantaran umurnya. Sejenak Ilah menghela nafas. 

"Selamat pagi anak-anak", seru Ilah. "Selamat pagi bu guru... cantik..", suara itu begitu keras terdengar dari sudut ruang. 

" Terima kasih anak-anak. Tolong yang duduk di kursi paling belakang dekat jendela mengenalkan diri... Ya betul.. kamu..", Ilah memerintahkan murid laki-laki itu berdiri. Tak ada reaksi apapun. 

Tanpa membuang waktu lebih lama, Ilah segera buku induk siswa yang ia pinjam dari pak Kepala Sekolah. Dan menyebut nama-nama agar mereka menunjuk diri. 

" Jaludin... Jaludin.....Jaludin", tidak ada satu muridpun yang tunjuk jari. 

Sekali lagi, Ilah memanggil nama itu. Kali ini dengan sebuah penegasan, 

" Kalau tidak ada yang mau mengaku punya nama itu, maka Jaludin saya anggap tidak ada. Nanti Ibu akan lapor Kepala Sekolah agar nama Jaludin dihapus dari Daftar Murid", Ilah berkata tegas. 

Mata guru perempuan muda itu menyapu seluruh sisi ruang kelas. Semua murid menunduk dan terdiam. Sunyi.

Tiba-tiba dari deretan bangku paling belakang terdengar suara gaduh. Seperti paduan suara 

" Ini Bu.....yang namanya Jaludin", beberapa murid menunjuk teman yang duduk dekat jendela itu. Kegaduhan  tak terhindarkan. 

"Sudah....jangan gaduh lagi. Kali ini Ibu mau memberi cerita tentang diri sewaktu sekolah ". 

***

Pagi itu, di ruang pimpinan asrama ada rapat penting. Raut muka orang-orang yang memasuki ruangan itu nampak tegang dan dengan langkah tergesa-gesa. Ada yang berpakaian tentara. Beberapa orang pelajar laki-laki  dan perempuan mengikuti dari belakang. Rapat berlangsung tertutup. Sekitar satu jam berselang, dari dalam ruang rapat muncul satu demi satu pesertanya. 

Semua masih menampakkan wajah-wajah tegang. Yang ke luar terakhir adalah ketua asrama. Ia segera mengumpulkan semua penghuni di aula. 

" Teman dan adik - adik. Baru saja saya mengikuti pertemuan penting di ruang pimpinan asrama bersama dengan para pengurus asrama kita, teman - teman pelajar dari Sekolah Tehnik, SMA Kotabaru dan hampir semua perwakilan sekolah yang ada di kota Jogja ini", ia berhenti sejenak menghela nafas. 

Matanya nanar membias sinar kemarahan yang tertahan di balik alis mata yang tebal. 

" Tadi, kami telah mendengarkan penjelasan dari bapak - bapak tentara yang melatih di Militair Academie Kotabaru. Beberapa hari yang lalu, Bung Karno dan Bung Hatta telah memproklamirkan kemerdekaan kita atas nama Bangsa Indonesia di Jakarta". 

Lagi - lagi sang ketua asrama putri itu berhenti bicara, menahan rasa. Ia menarik nafas agak panjang dan mengeluarkannya perlahan. 

Ibu asrama yang sejak tadi hanya mendampingi, kini mengambil alih suasana. Setelah menepuk bahu sang ketua, adik kandung dokter Wahidin ini berkata: 

" Anak-anakku. Rapat tadi juga membicarakan permintaan bapak tentara agar asrama kita dapat mengirim beberapa orang untuk dilatih sebagai tenaga pertolongan pertama di rumah sakit sebelah timur asrama ini. Anak - anak yang namanya dipanggil oleh ketua asrama agar maju dan berkumpul di sebalah kanan tempat Ibu berdiri ", ibu asrama kemudian menyuruh sang ketua memanggil nama - nama yang telah dipilih. 

" Triningsih... Sriningsih ... Umiyatun...", dan tujuh nama lain. Mereka bergegas maju dan dibariskan oleh ketua asrama.

***

Hari berganti minggu dan bulan. Sampai di penghujung November 1946, pusat pemerintahan RI telah berpindah dari Jakarta ke Jogjakarta. Di Sitihinggil, sebuah tempat pertemuan yang luas di lingkungan Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat telah berkumpul ratusan pelajar dan mahasiswa se Indonesia Raya. Terlihat di antaranya beberapa orang Ambon yang mudah dikenali dari hidung dan kulit yang khas. Ada juga yang memakai asesori busana suku Dayak, Bugis dan Batak. Semua pelajar ini berkumpul dengan satu tujuan. Melakukan Kongres Ikatan Pelajar Indonesia (IPI) yang pertama. Suasananya sangat sederhana dan serius. Umur rata-rata pesertanya sekitar 17 atau 18 tahun. Satu keputusan penting yang berhasil dicapai adalah membentuk bagian pertahanan yang kemudian berganti nama Tentara Pelajar Brigade 17 TNI. Pagi itu Ilah dipanggil menghadap Kepala Staf Putri, mBak Sri Daruni. Siswi SMA B ini sangat akrab dengan mBak Pupu Ratnasari, mojang geulis putri Bupati Garut yang menjadi  ketua asrama murid-murid Sekolah Guru Putri di bilangan Terban. 

Ilah yang gemar olahraga dan menjadi anggota tim rounders di sekolahnya adalah salah satu penghuni asrama yang sering diminta tolong menjadi wakil untuk kegiatan luar bersama pelajar lain di kota Jogja. 

" Dik Ilah... mBak Daruni meminta siang ini juga agar adik datang ke Markas Tugu Kulon. Ada tugas penting", kata Popy sambil menyodorkan sepucuk surat. 

Setelah dibaca surat itu, Ilah mengajak Pupu ke ruang pimpinan asrama. Di depan pintu, Ibu Sanyoto telah menyambut kedatangan kedua anak asuhnya. Kemudian mereka dipersilakan duduk saling berhadapan muka. 

Ilah membuka pembicaraan, 

" Begini bu.. saya mendapat perintah dari markas TP untuk mengantar bahan makanan dan membantu perawatan teman-teman TRIP korban peperangan Surabaya di Rumah Sakit PMI Mojokerto selama 10 hari. Ini surat perintahnya Bu....". 

Bu Sanyoto menerima surat itu dan segera membaca isinya. 

" Ananda Ilah. Ini tugas negara. Pandai-pandailah membawa dirimu", hanya pesan itu yang dikatakan oleh Ibu Sanyoto sambil menyerahkan kembali surat perintah kepada Ilah. Mereka berdua pamit mundur. Ilah bergegas menuju kamarnya untuk berbenah.

***

Perjalanan ke Mojokerto dilakukan bersama mBak Tien dari SMA Kotabaru dan dikawal pasukan Tentara Pelajar yang dipimpin mas Poer. Selepas siang, rombongan ini memasuki wilayah hutan jati Caruban. Tak seberapa lama berselang, kereta melambar dan berhenti. Mas Poer yang sejak tadi duduk bersama kami bergegas ke luar gerbong satu-satunya pada rangkaian kereta rombongan khusus ini. 

Di balik rerimbunan pohon jati, muncul sejumlah orang bersenjata parang dan bambu runcing. Kemudian mereka telah berada dalam posisi siap menyerang. Mas Poer memberi perintah kepada anak buahnya untuk menahan diri. Entah dari mana asalnya, suara perintah mundur bagi para penghadang begitu keras terdengar. 

" Rek podho munduro..iki konco dewe (teman-teman.. mundur........ini teman kita juga ..)". 

Dalam sekejap, para penghadang telah menghilang. Peristiwa menjadi kenangan khusus bagi Ilah setelah mengikuti latihan dasar kemiliteran tiga hari sebelum penugasan lapangan pertama kalinya. Kereta berjalan lebih cepat setelah meninggalkan stasiun Madiun. Ada tambahan sekitar duapuluhan orang anggota TRIP yang diberangkatkan dari  stasiun Madiun. Suasana menjadi ramai dengan celoteh dan gurauan khas Jawa Timuran. Tanpa terasa, sekitar jam 8 malam kami sudah sampai di stasiun Mojokerto. 

Selanjutnya, kami berganti truk untuk melanjutkan perjalanan ke twempat yang dituju. Ternyata, rumah sakit darurat yang digunakan untuk merawat para korban Pwertwempuran 10 November 1945 di kota Surabaya adalah asrama putri Sekolah Katholik di Mojoagung. Malam pertama seluruh rombongan dari Jogja beristirahat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun