Mohon tunggu...
Supartono JW
Supartono JW Mohon Tunggu... Konsultan - Pengamat dan Praktisi
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Mengalirdiakunketiga05092020

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Berkata-kata Baik dan Wajah Ceria, Mudah?

10 September 2021   15:51 Diperbarui: 10 September 2021   15:57 314
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Supartono JW

Berkata Baik, Wajah Ceria

Berkata-kata yang baik
Tentu saja akan sulit
Bila hati dan pikiran kita
Tak bersih

Berwajah yang ceria
Tentu juga akan rumit
Bila dalam hati dan pikiran kita
yang ada hanya rasa benci

Reff

Bila kita berkata-kata
Bila kita tatapan muka
dengan orang lain
Ingat selalu anggap mereka
seperti orang tua kita sendiri
Maka yang ada kita
Menghormati mereka

Berkata-kata yang baik
Ekspresi wajah yang ceria
Akan selalu terjaga
dalam sikap kita

(Ada di Chanel YouTube Supartono JW)

####
Mimbar agama apa pun di negeri ini, diharapkan akan terus mampu menggugah hati dan pikiran masyarakat Indonesia, tatkala dunia pendidikan formal dan nonformal terpuruk yang buntutnya, masyarakat Indonesia dari para elite pemimpin bangsa hingga rakyat jelata, terus tersungkur, lost control pada budaya sopan-santun, hingga nir empati, dan miskinnya rasa peduli sesama.

Karenanya, saya senang saat dalam sebuah Khutbah Jumat di satu Komplek Perumahan yang tetap dengan protokol Covid-19 ketat pada Jumat, (10/9/2021), Khatib menyampaikan pesan tentang pentingnya berkata-kata baik dan menunjukkan wajah yang ceria, manis di hadapan orang lain.

Pesan Khatib, tentu saja ditujukan untuk dirinya sendiri dan juga bagi para jamaah komplek perumahan tersebut. Pun bagi masyarakat sekitar yang mendengarkan khutbah. Pasalnya, budaya berkata-kata tak baik dan budaya menampakkan wajah yang tak ceria bahkan cenderung nantangin, kini lebih unggul dan lebih mendominasi, bak virus corona, bahkan lebih berpandemi.

Malah, berkata-kata kasar khususnya di media sosial bahkan boleh dibilang tak kenal waktu dan momentum lagi. Mirisnya, sudah berkata kasar di medsos, saat bertemu muka pun juga tetap tak berupaya menunjukkan wajah yang ceria, tetapi nantangin.

Luar biasanya, hal ini justru terjadi di seantero nusantara, hingga degradasi moral tak dapat ditawar lagi. Hal ini pun sampai didukung fakta saat Microsoft merilis laporan terbaru Digital Civility Index (DCI) yang mengukur tingkat kesopanan digital pengguna internet saat berkomunikasi di dunia maya.

Dalam riset, tingkat kesopanan pengguna internet di Indonesia memburuk delapan poin ke angka 76, dan menempatkan warganet Indonesia di urutan terbawah se-Asia Tenggara. Riset dilakukan di bulan April dan Mei 2020.

Pilgub dan Pilpres, pemicu!

Bicara berkata-kata baik dan menampakkan wajah yang ceria, memang rasanya akan sulit dikembalikan di negeri ini. Praktis, saya catat dan sudah saya tulis di berbagai artikel, bahwa sejak peristiwa Pilgub DKI dan Pilpres yang semua pihak dan masyarakat Indonesia mengingat kapan dan bagaimana peristiwanya, sejak itu sikap sebagian masyarakat Indonesia dalam berkata-kata baik dan menampilkan wajah yang ceria baik di lingkungan keluarga, masyarakat, tempat kerja, dan sebagainya semakin terdegradasi.

Pasalnya akibat peristiwa Pilgub dan Pilpres, rakyat pun terbelah karena beda junjungan. Sejak itu, media sosial menjadi kendaraan untuk berseteru dan kisruh hingga dampaknya sangat rentan terhadap disintegrasi bangsa.

Saat perseteruan dan kisruh tak lagi dapat dikendalikan di media sosial, pihak berkepentingan di negeri ini justru memanfaatkan media sosial dan media massa untuk memperkuat dan memperkokoh posisi mereka dengan melahirkan influenser dan buzzer.

Ironisnya, hingga detik ini, mereka justru terus menebar permusuhan dengan kata-kata kasar, merendahkan, mengejek, dan sejenisnya kepada pihak lawan politiknya, namun nyatanya para pelakunya masih terus dibiarkan mengetwit dengan bebas, meski konteknya selalu menebar masalah dan nantangin pihak lawan.

Sosok pengetwit yang setiap saat bikin masalah dan tambah meresahkan inilah yang seharusnya dibumi hanguskan dari negeri ini, agar masyarakat dan khususnya generasi muda tidak meneladani sikap tak bermoral mereka.

Sayang, tukang onar yang memanfaatkan media sosial dan mungkin memang dibayar dan dipekerjakan oleh pihak yang berkepentingan, masih terus dibiatkan bebas berkeliaran. Padahal mereka adalah ancaman serius untuk pendidikan sosial generasi muda kita yang sudah terpuruk di jalur pendidikan.

Kini berkata-kata baik dan menampakkan wajah yang ceria di negeri ini, nampaknya sudah menjadi barang langka dan mahal. Karena kata-kata kasar dan wajah tak bersahabat dan sangar lebih mudah dilakukan dan lebih murah, ada yang bayar lagi.

Peran keluarga dan masyarakat

Untuk itu, karena dunia pendidikan juga masih bermasalah dengan dirinya sendiri, kepentingan politik, oligarki, dan dinasti politik juga membikin elite partai dan para pengikut dan pendukungnya terus gemar berkata kasar dan nantangin demi kepentingan mereka  maka keluarga dan masyarakat wajib menjadi ujung tombak dan teladan bagi anak-anak, generasi muda, dan generasi tua, untuk mengembalikan budaya anggota keluarga dan masyarakatnya menjadi bermoral dan santun.

Para kepala keluarga, para ketua rukun tetangga, di lingkungan masyarakat terkecil, seharusnya dapat mengambil peran ini, agar para anaknya, para remaja, hingga para orang tuanya menjadi pribadi yang berkarakter, berbudi pekerti luhur, santun, hingga produksi kata-katanya selalu baik. Ekspresi wajahnya selalu ceria dan manis. secara fakta. Bukan rekayasa dan sandiwara seperti perilaku para elite partai dan para tukang twitt yang dibayar memecah belah bangsa.

Untuk itu, jangankan Presiden sebagai pemimpin tertinggi negara, kepala keluarga dan ketua RT saja, tak akan punya wibawa dan karisma bila tak dapat memberi teladan kepada anggota keluarga dan masyarakat di lingkungan RT-nya, bila tak memberikan praktik nyata meneladani dalam hal berkata-kata baik dan selalu tampil dengan wajah ceria, manis, yang tentunya menyejukkan dan memberikan kenyamanan.

Seharusnya, orang yang telah terdidik, tentu telah berkembang intelektualnya, sosialnya, emosinya, analitisnya, kreatif-imajinatifnya, dan imannya (ISEAKI), maka tentunya dapat menjaga, merawat, dan mengendalikan diri terhindar berkata-kata tak baik dan berwajah seram.

Namun, faktanya hal itu tak menggaransi. Justru banyak orang yang tak makan asam garam bangku sekolah/kuliah, malah memiliki karakter berbudi pekerti luhur  santun, rendah hati, selalu berkata-kata baik dan menampilkan wajah ceria yang apa adanya, bukan kamuflase apalagi rekayasa.

Rumus mudah untuk berkata-kata baik baik secara langsung di hadapan orang maupun di medsos dan wajah ceria, pandanglah setiap lawan bicara atau orang yang kita hadapi adalah orang tua kita, Ayah kita, Ibu kita.

By Supartono JW. September.10092021

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun