Luar biasanya, hal ini justru terjadi di seantero nusantara, hingga degradasi moral tak dapat ditawar lagi. Hal ini pun sampai didukung fakta saat Microsoft merilis laporan terbaru Digital Civility Index (DCI) yang mengukur tingkat kesopanan digital pengguna internet saat berkomunikasi di dunia maya.
Dalam riset, tingkat kesopanan pengguna internet di Indonesia memburuk delapan poin ke angka 76, dan menempatkan warganet Indonesia di urutan terbawah se-Asia Tenggara. Riset dilakukan di bulan April dan Mei 2020.
Pilgub dan Pilpres, pemicu!
Bicara berkata-kata baik dan menampakkan wajah yang ceria, memang rasanya akan sulit dikembalikan di negeri ini. Praktis, saya catat dan sudah saya tulis di berbagai artikel, bahwa sejak peristiwa Pilgub DKI dan Pilpres yang semua pihak dan masyarakat Indonesia mengingat kapan dan bagaimana peristiwanya, sejak itu sikap sebagian masyarakat Indonesia dalam berkata-kata baik dan menampilkan wajah yang ceria baik di lingkungan keluarga, masyarakat, tempat kerja, dan sebagainya semakin terdegradasi.
Pasalnya akibat peristiwa Pilgub dan Pilpres, rakyat pun terbelah karena beda junjungan. Sejak itu, media sosial menjadi kendaraan untuk berseteru dan kisruh hingga dampaknya sangat rentan terhadap disintegrasi bangsa.
Saat perseteruan dan kisruh tak lagi dapat dikendalikan di media sosial, pihak berkepentingan di negeri ini justru memanfaatkan media sosial dan media massa untuk memperkuat dan memperkokoh posisi mereka dengan melahirkan influenser dan buzzer.
Ironisnya, hingga detik ini, mereka justru terus menebar permusuhan dengan kata-kata kasar, merendahkan, mengejek, dan sejenisnya kepada pihak lawan politiknya, namun nyatanya para pelakunya masih terus dibiarkan mengetwit dengan bebas, meski konteknya selalu menebar masalah dan nantangin pihak lawan.
Sosok pengetwit yang setiap saat bikin masalah dan tambah meresahkan inilah yang seharusnya dibumi hanguskan dari negeri ini, agar masyarakat dan khususnya generasi muda tidak meneladani sikap tak bermoral mereka.
Sayang, tukang onar yang memanfaatkan media sosial dan mungkin memang dibayar dan dipekerjakan oleh pihak yang berkepentingan, masih terus dibiatkan bebas berkeliaran. Padahal mereka adalah ancaman serius untuk pendidikan sosial generasi muda kita yang sudah terpuruk di jalur pendidikan.
Kini berkata-kata baik dan menampakkan wajah yang ceria di negeri ini, nampaknya sudah menjadi barang langka dan mahal. Karena kata-kata kasar dan wajah tak bersahabat dan sangar lebih mudah dilakukan dan lebih murah, ada yang bayar lagi.
Peran keluarga dan masyarakat