Faktanya Bung Yuke justru tetap bergeming dengan Liga TopSkor yang sejalan dengan program Kemendikbud (Karakter). Fakta bahwa liga ini telah terbukti membentuk pemain dan pelatih berkarakter, digaransi oleh Bung Yuke, melalui tim Teknik Studi Grup (TSG), yang dari tahun ke tahun senantiasa diperbaharui mengikuti perkembangan zaman.
Melalui TSG, pengurus SSB, pelatih, dan pemain menjadi memahami bagaimana mengelola SSB, menjadi pelatih profesional, dan pemain yang cerdas dengan memperhatikan empat aspek kemanusiaan, yaitu intelegensi, personaliti, teknik, dan speed.
Para pemain menjadi tahu tentang First touch: kontrol, sentuhan pertama dengan bola; Running with the ball: kemampuan berlari dengan bola; 1vs1: kemampuan duel satu lawan satu; Striking the ball: keahlian menendang bola, passing, shooting, cross, dan heading; Contribution/Influence: kontribusi dan pengaruh bagi tim di lapangan; Communications/Team work: komunikasi dan kerjasama dalam permainan; Decision making: pengambilan keputusan dalam permainan; Competitiveness: kerja keras dalam permainan; dan ABC: ketangkasan atletik. Itulah kriteria pemain terbaik Liga TopSkor yang mengadopsi sepakbola modern.
Manajemen SSB dan pelatihpun menjadi paham tentang mengorganisasi pemain dan orangtua, sikap dalam memberikan arahan, pengaruh pelatih dalam permainan, serta pengaruh pelatih dalam hasil akhir. Performance: cara berpenampilan dan berpakaian; Attitude: sikap dan perilaku di pinggir lapangan; Reaction: reaksi dan respons dalam situasi permainan; Organisations: pengorganisasian pemain sebelum, saat, dan setelah pertandingan; Tactical approach: pendekatan dan pemilihan taktik yang dilakukan; Style of play: memiliki identitas permainan; Leadership: kepemimpinan.
Akhirnya ada penghargaan pelatih dan pemain terbaik. Dampak dari penghargaan sesuai kriteria/standar kompetensi tersebut, terus menuntun pemain dan pelatih dalam setiap pertandingan menunjukkan kemampuan terbaiknya.Â
Mengingat kompetisi ini dilakukan setiap Sabtu dan Minggu (Rabu/Kamis, atau hari lain tentatif) belum lagi setiap tim juga menyiapkan latihan dua atau tiga hari di hari lain, maka bila dikalkulasi, setiap pemain dan pelatih selalu membiasakan diri setiap hari dengan berbuat, bertindak sesuai kriteria yang ada.
Luar biasa, kriteria-kriteria tersebut mengakar dan mendarah daging pada diri setiap pemain dan pelatih bukan hanya secara teori, tetapi praktik langsung. Dalam berbagai literature, kebiasaan yang dilakukan secara berulang-ulang, didahului oleh kesadaran dan pemahaman, akan membentuk karakter seseorang. Dengan demikian, kita punya harapan besar pada liga ini, karena setiap pemain dan pelatih akan terbiasa dengan sembilan dan tujuh karakter yang secara khusus diterapkan dalam pertandingan, namun lebih umum, mereka dapat menerpakan di kehidupan sehari-hari, dengan tema dan  kegiatan yang berbeda.
Lebih dari itu, untuk urusan jersey bertanding, Liga TopSkor bahkan lebih disiplin dari Sekolah formal yang terkadang inkonsisten penerapannya. Tapi, di Liga ini, jersey (kaos, celana, kaos kaki) bila ada yang tidak patuh sesuai tegulasi, maka tak ampun kena pasal pelanggaran regulasi dan harus dibayar dengan menerima sanksi.
Selain itu, jelas, even ini sejalan dengan program pemerintah melalui Kemendikbud yang mengamanatkan kepada seluruh institusional kelembagaan pendidikan untuk menerapkan pendidikan berbasis karakter, dan ternyata sejalan dengan Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2017.
Perjuangan Bung Yuke dalam ranah sepakbola usia muda, 12-17 tahun adalah melahirkan kompetisi sepakbola usia muda yang telah merambah di 8 kota, namun sejatinya peserta/pemainnya sudah terdiri dari seluruh pemain pelosok nusantara yang eksodus bergabung dengan Sekolah Sepakbola yang menjadi peserta kompetisi. Terbukti mampu memenangi kejuaran bergengsi Gothia Cup. Terbukti menyumbangkan pemain-pemain dalam skuat timnas Indonesia.
Karakter dalam Liga TopSkor
Terkait dengan masalah Krisis moral yang telah menjangkiti seluruh lapisan masyarakat di negeri tercinta ini, seperti para elit bangsa yang seharusnya menjadi teladan bagi rakyat, justru menjadi aktor intelektual yang memberikan contoh buruk dengan kebiasaan korupsi, berseteru, kudeta dengan tokoh mulai cebong, kampret, kadrun, influenser, buzzer, hingga teranyar kudetor, yang semuanya karena menghamba pada kepentingan yang wajib dibayar kepada yang memodali, yaitu taipan/cukong. Sepertinya memang negeri ini sudah digadai, lho.