"Setidaknya lariku pernah mengalahkan kaki panjangmu itu. Wek...!" Belim menjulurkan lidahnya.
"Iya, deh! Lihat aja besok!" tantang Abing sambil mencolek hidungnya yang tidak gatal.
Si Belim dan si Abing duduk bersantai, menikmati angin semilir yang halus menyentuh kulit. Sinar sang surya perlahan meredup, menyisakan warna jingga memenuhi angkasa raya.
"Bing, kenapa ya kulitmu bisa putih gitu, sedangkan aku dekil kayak gini?"tanya Belim iseng.
"Mungkin dulunya ibuku sering makan buah kelapa,"jawab Abing sekenanya saja."Maksudmu ibuku kebanyakan makan buah buni, gitu? huhuhuu...,"jerit Belim seraya menutup wajahnya pura-pura terkejut dan sedih.
"Hahaha... bisa jadi! Tidak apa-apalah kulit hitam, yang penting gigi masih putih!" ledek Abing lagi.
Mereka tertawa bersama.
"Belim, menurut kamu, kenapa warna langit selalu jingga saat matahari akan terbenam?"giliran Abing yang memberi pertanyaan.
"Mungkin karena banyak udang sungkurnya di laut,ya?" jawab Belim seenaknya.
"Haaa...apa hubungannya dengan udang sungkur? Kalau menurut aku sih karena selimut Tuhan warna jingga. Hawa malam kan dingin, Tuhan pasti pakai selimutnya juga kalau mau tidur," celoteh si Abing sok tahu.
"Wah, sembarangan! Sekalian aja kamu bilang Tuhan pakai piyama. Lagian, emang Tuhan sempat tidur? Ada-ada saja kau, Bing! Haaa..haa..!" tawa Belim pecah mendengar candaan Abing.