Mohon tunggu...
Tonang Dwi Ardyanto
Tonang Dwi Ardyanto Mohon Tunggu... Dokter - Akademisi dan Praktisi Pelayanan Kesehatan

Dosen, Dokter, ... Biasa saja.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Soal Pindah Kelas Perawatan (2)

3 April 2016   07:48 Diperbarui: 3 April 2016   14:23 1106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Sindo"][/caption]Meneruskan tulisan sebelumnya Soal pindah kelas perawatan, ada penjeasan dari pihak BPJSK menanggapi penjelasan Mensesneg bahwa  peserta kelas 3 mendapat fasilitas kelas 1. Isi penjelasan BPJSK sebenarnya hanya menegaskan lagi yang sudah dijelaskan dalam Permenkes 28/2014 sebagai revisi terhadap klausul yang sama dalam Permenkes 71/2013:

1. Peserta JKN, kecuali peserta PBI, dimungkinkan untuk meningkatkan kelas perawatan atas permintaan sendiri pada FKRTL yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan.

2. Untuk pasien yang melakukan pindah kelas perawatan atas permintaan sendiri dalam satu episode perawatan hanya diperbolehkan untuk satu kali pindah kelas perawatan.

3. Khusus bagi pasien yang meningkatkan kelas perawatan (kecuali peserta PBI Jaminan Kesehatan):

a. Sampai dengan kelas I, maka diberlakukan urun biaya selisih tarif INA-CBGs kelas ruang perawatan yang dipilih dengan tarif INA-CBGs yang menjadi haknya.

b. Jika naik ke kelas perawatan VIP, maka diberlakukan urun biaya sebesar selisih tarif VIP lokal dengan tarif INA-CBGs kelas perawatan yang menjadi haknya.

Kita belum tahu persis apa isi Perpres baru nanti sesuai penjelasan Mensesneg tersebut. Tapi sampai saat ini, Permenkes 28/2014 tersebut yang berlaku. 

Dari sana sering muncul pertanyaan: mengapa kalau naik kelas sampai kelas 1 kok kita disuruh bayar selisih tapi tidak ada rincian item biayanya? 

Sesuai regulasi, kalau naik dari kelas 3 atau kelas 2 sampai maksimal ke kelas 1, maka peserta membayar selisih antara tarif INA-CBGs untuk kasus yang bersangkutan pada hak kelas perawatannya, dengan tarif INA-CBGs untuk kasus yang sama pada kelas yang ditempati. Jadi pihak RS hanya akan menyampaikan: ini tarif INA-CBGs sesuai kelas, ini tarif INA-CBGs sesuai yang ditempati, dan sekian selisih yang dibayar. Tidak diperlukan item biaya karena memang tarif tersebut tarif paket: cara penggunaannya menjadi urusan internal RS yang penting sesuai standar pelayanan kedokteran. Prinsipnya: selisih paket hak kelas dengan paket kelas yang ditempati.

Sebaliknya orang juga sering bertanya: kalau naik ke VIP tambah berapa ya? 

Sesuai regulasi, bila naik sampai ke di atas kelas 1 (karena di lapangan bisa ada beberapa sebutan untuk kelas di atas kelas 1 ini), maka peserta membayar selisih antara tarif INA-CBGs untuk kasus yang bersangkutan pada hak kelas perawatannya, dengan total tarif RS pada kasus tersebut.  

Kan katanya obat, tindakan dan layanan medisnya sama, berarti seharusnya hanya bayar selisih tarif kamar nya dong? 

Memang seharusnya obat, tindakan dan layanan medisnya sama. Maka yang menjadi selisih adalah layanan non medisnya. Nah, layanan non medis ini yang bervariasi antar RS dan bisa saja tidak hanya tergambarkan dari selisih tarif kamar. Karena itu selisih yang harus dibayar adalah dikurangkan terhadap total tarif RS untuk perawatan di atas kelas 1. 

Lho tapi kok pernah terjadi naik ke VIP tapi tidak bayar? Kok bisa? Kok aneh? Padahal naik kelas 1 saja malah harus membayar selisih? 

Bisa saja terjadi. Naik sampai kelas 1, harus membayar selisih, karena regulasi menyatakan demikian. Sedangkan naik ke di atas kelas 1, pada kasus dan kondisi tertentu, ternyata tarif total RS masih bisa ditutup oleh tarif INA-CBGs sesuai kasus dan hak kelas pasien. Kok bisa? Ya karena memang demikian sifat dari tarif INA-CBGs: group tarif, maka ada subsidi silang. Apalagi di RSUD yang biasanya menetapkan tarif relatif rendah, sehingga bisa terjadi walau di kelas VIP, ternyata masih dapat ditutup oleh tarif INA-CBGs. Dalam hal ini pun, RS hanya memberikan kuitansi bila ada selisih yang harus dibayarkan oleh pasien. Bila tidak ada selisih yang harus dibayarkan, maka tidak ada kuitansi dari RS. 

Kondisi demikian yang kadang "menjebak" pasien: dikira kalau ke kelas di atas kelas 1 malah tidak harus membayar selisih, begitu selesai dirawat baru kaget "kok harus bayar banyak sekali", jadilah kemudian masalah. Padahal dalam kondisi demikian, pihak RS hampir selalu dalam posisi tidak nyaman: menjadi sasaran tudingan masyarakat (dan pejabat). Ujung-ujungnya biasanya RS yang harus "mengalah". 

Tapi kok kadang terjadi: sudah saatnya pulang, karena naik kelas, harus meninggalkan deposit dulu, baru nanti akan diberitahu kalau sudah jelas besar selisihnya, kok aneh?

Ketika pasien pulang, maka RS menyusun berkas klaim, dan diajukan ke pihak BPJSK. Dalam proses verifikasi ini lah, baru bisa dipastikan benar: berapa tarif INA-CBGs yang diperoleh RS, baru kemudian bisa dihitung selisihnya. Sebenarnya, untuk kebanyakan kasus, RS sudah memiliki catatan dan lancar-lancar saja verifikasinya. Jadi RS sudah punya catatan: oh nanti klaim nya sekian sehingga mudah menentukan beban selisih bayar. Hanya pada kasus-kasus yang jarang ditemui, atau sangat kompleks penyakitnya, maka perlu diproses dulu untuk mendapat kepastian besaran tarif INA-CBGs nya. 

Dari gambaran ini, kalau memang terpaksa rawat inap, maka pilih sesuai kelas: tidak perlu ada hitung-hitungan lagi antara RS dan pasien. Urusannya tinggal RS dengan BPJSK. Dengan demikian, sebaiknya tidak perlu ada pemahanan: pokoknya daftar kelas 3 dulu, baru nanti kalau terpaksa rawat inap kita tinggal naik kelas. 

Tapi bagaimana kalau ternyata kamar nya penuh?

Ini memang masalah bersama kita: kunjungan sangat meningkat di era JKN (ada yang melaporkan bahkan sampai 3 kali lipat daripada sebelum JKN), sementara kapasitas cenderung tidak bertambah signifikan. Satu sisi kita syukuri karena berarti hambatan ekonomis sudah banyak berkurang sehingga orang mudah berobat. Tapi sisi lain, bisa terjadi kekurangan tempat perawatan. 

Tanggung jawab ketersediaan faskes dan SDM kesehatan adalah tanggung jawab pemerintah dan pemda (pasal 35 Perpres 12/2013 dan tidak direvisi dalam Perpres 19/2016). Hanya tentu saja perlu waktu dan biaya untuk memenuhinya di sebagian besar wilayah Indonesia. 

Karena itu lah kita kembali diingatkan untuk menjalankan sesuatu yang lama kita agak lupa: rujukan berjenjang. Harapannya tersaring benar pasien yang memang membutuhkan layanan ke RS. Tujuannya: agar RS tidak dipenuhi pasien yang sebenarnya cukup di faskes primer, sehingga yang benar-benar membutuhkan malah tidak mendapat tempat. 

Di wilayah-wilayah terpencil, perbatasan dan kepualauan, ada perlakuan khusus baik dalam hal penetapan aturan kapitasi, pemberi layanan maupun pemberian kompensasi. Hal ini yang masih perlu dirumuskan lebih rinci mengingat perlu waktu untuk dapat menyebarkan faskes dan SDM.

Yang jelas: jangan gegabah menuding RS bohong soal tempat tidur penuh. Ada beberapa pertimbangan yang harus masuk dalam kalkulasi. Sisi lain, bagi RS pemerintah, ada juga pejabat politik yang menetapkan kebijakan: RS tidak boleh menolak pasien, apapun kondisinya, dan seberapapun sudah penuhnya pasien di dalamnya. Padahal sebenarnya ada klausul dimana RS memang justru harus "menolak" menerima pasien. Alasanya karena memang RS yang bersangkutan tidak sanggup memenuhi kebutuhan medis pasien. Tentu saja, caranya tidak asal menolak, tetapi ada prosedur penanganan kegawatan dan stabilisasi sebelum kemudian dirujuk ke RS yang mampu memenuhi kebutuhan medis pasien. 

Kalau memang benar-benar penuh, dan tidak ada kamar di hak kelasnya, bagaimana? 

Regulasi Permenkes 28/2014 menyatakan bahwa:

4. Dalam hal ruang rawat inap yang menjadi hak peserta penuh, peserta dapat dirawat di kelas perawatan satu tingkat lebih tinggi paling lama 3 (tiga) hari. Selanjutnya dikembalikan ke ruang perawatan yang menjadi haknya. Bila masih belum ada ruangan sesuai haknya, maka peserta ditawarkan untuk dirujuk ke fasilitas kesehatan lain yang setara atau selisih biaya tersebut menjadi tanggung jawab fasilitas kesehatan yang bersangkutan. 

Klausul ini yang terus terang memberatkan bagi RS. Terasa tidak adil. Akan menjadi lebih adil bagi RS bila bunyinya "Bila masih belum ada ruangan sesuai haknya, maka peserta ditawarkan untuk dirujuk ke fasilitas kesehatan lain yang setara atau selisih biaya tersebut menjadi tanggung jawab fasilitas kesehatan yang bersangkutan pasien yang bersangkutan". Karena itulah biasanya opsi ini tidak dipilih oleh RS. Masyarakat kiranya juga paham keluhan pihak RS dalam hal ini, bila harus menanggung beban. 

Namun demikian, bukan berarti RS semena-mena: asas kemanusian dan menolong tetap dikedepankan. Bila kasusnya memang gawat, harus segera ditangani, maka pasien tetap diterima walau hak kelasnya penuh, kemudan dirawat di kelas atasnya. Hal seperti ini juga sering dilakukan oleh RS. Nanti setelah pasien lebih stabil, dan ada tempat, baru dikembalikan ke kelas yang menjadi hak nya, atau sesuai keinginan pasien bila ingin naik kelas. Hal yang demikian sebaiknya dikomunikasikan dan masyarakat juga memahami kondisinya agar tidak timbul salah paham setelah di akhir proses perawatan. 

Bagaimana kalau kamar di kelas atasnya juga penuh?

Permenkes 28/2014:

5. Apabila kelas sesuai hak peserta penuh dan kelas satu tingkat diatasnya penuh, peserta dapat dirawat di kelas satu tingkat lebih rendah paling lama 3 (tiga) hari dan kemudian dikembalikan ke kelas perawatan sesuai dengan haknya. Apabila perawatan di kelas yang lebih rendah dari haknya lebih dari 3 (tiga) hari, maka BPJS Kesehatan membayar ke FKRTL sesuai dengan kelas dimana pasien dirawat.

Dengan pilihan ini, memberi kesempatan juga bagi peserta yang memang harus dirawat, tetapi juga benar-benar tidak sanggup bila harus membayar selisih bila naik kelas. Namun peserta dan masyarakat juga perlu tahu bahwa dalam kondisi demikian, RS juga menerima klaim sesuai kelas tempat dirawat, bukan sesuai hak kelas peserta. Jadi tidak berarti RS "ambil untung" dengan kondisi seperti ini. 

Bagaimana kalau benar-benar semua kamar juga penuh?

Permenkes 28/2014:

6. Bila semua kelas perawatan di rumah sakit tersebut penuh maka rumah sakit dapat menawarkan untuk dirujuk ke fasilitas kesehatan yang setara dengan difasilitasi oleh FKRTL yang merujuk dan berkoordinasi dengan BPJS Kesehatan. 

Seperti uraian sebelumnya, sebenarnya memang RS justru "harus menolak" bila benar-benar tidak sanggup merawat pasien. Tentu ada proses penanganan kegawatan dan stabilisasi sebelum dirujuk. Dalam hal ini, maka layanan publik dalam bentuk Sistem Penanganan Gawat Darurat Terpadu atau sejenisnya menjadi sangat penting. Beberapa Pemda telah mengembangkan dan melaksanannya. Misalnya di Jawa Tengah dan khususnya Kota Surakarta. Fasilitas SPGDT juga membantu dalam klausul poin nomor 4 dan 5 tadi bila memang lebih memungkinkan untuk dirujuk ke RS yang masih memiliki fasilitas sesuai hak kelas peserta. 

Dengan memahami berbagai kondisi terkait naik dan turun kelas perawatan ini, diharapkan muncul saling pengertian antar pihak dalam JKN: masyarakat, penyedia layanan (faskes dan nakes) maupun BPJSK. Tentu semua dalam payung pemerintah. 

 

#SalamKawalJKN

 

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun