Kan katanya obat, tindakan dan layanan medisnya sama, berarti seharusnya hanya bayar selisih tarif kamar nya dong?Â
Memang seharusnya obat, tindakan dan layanan medisnya sama. Maka yang menjadi selisih adalah layanan non medisnya. Nah, layanan non medis ini yang bervariasi antar RS dan bisa saja tidak hanya tergambarkan dari selisih tarif kamar. Karena itu selisih yang harus dibayar adalah dikurangkan terhadap total tarif RS untuk perawatan di atas kelas 1.Â
Lho tapi kok pernah terjadi naik ke VIP tapi tidak bayar? Kok bisa? Kok aneh? Padahal naik kelas 1 saja malah harus membayar selisih?Â
Bisa saja terjadi. Naik sampai kelas 1, harus membayar selisih, karena regulasi menyatakan demikian. Sedangkan naik ke di atas kelas 1, pada kasus dan kondisi tertentu, ternyata tarif total RS masih bisa ditutup oleh tarif INA-CBGs sesuai kasus dan hak kelas pasien. Kok bisa? Ya karena memang demikian sifat dari tarif INA-CBGs: group tarif, maka ada subsidi silang. Apalagi di RSUD yang biasanya menetapkan tarif relatif rendah, sehingga bisa terjadi walau di kelas VIP, ternyata masih dapat ditutup oleh tarif INA-CBGs. Dalam hal ini pun, RS hanya memberikan kuitansi bila ada selisih yang harus dibayarkan oleh pasien. Bila tidak ada selisih yang harus dibayarkan, maka tidak ada kuitansi dari RS.Â
Kondisi demikian yang kadang "menjebak" pasien: dikira kalau ke kelas di atas kelas 1 malah tidak harus membayar selisih, begitu selesai dirawat baru kaget "kok harus bayar banyak sekali", jadilah kemudian masalah. Padahal dalam kondisi demikian, pihak RS hampir selalu dalam posisi tidak nyaman: menjadi sasaran tudingan masyarakat (dan pejabat). Ujung-ujungnya biasanya RS yang harus "mengalah".Â
Tapi kok kadang terjadi: sudah saatnya pulang, karena naik kelas, harus meninggalkan deposit dulu, baru nanti akan diberitahu kalau sudah jelas besar selisihnya, kok aneh?
Ketika pasien pulang, maka RS menyusun berkas klaim, dan diajukan ke pihak BPJSK. Dalam proses verifikasi ini lah, baru bisa dipastikan benar: berapa tarif INA-CBGs yang diperoleh RS, baru kemudian bisa dihitung selisihnya. Sebenarnya, untuk kebanyakan kasus, RS sudah memiliki catatan dan lancar-lancar saja verifikasinya. Jadi RS sudah punya catatan: oh nanti klaim nya sekian sehingga mudah menentukan beban selisih bayar. Hanya pada kasus-kasus yang jarang ditemui, atau sangat kompleks penyakitnya, maka perlu diproses dulu untuk mendapat kepastian besaran tarif INA-CBGs nya.Â
Dari gambaran ini, kalau memang terpaksa rawat inap, maka pilih sesuai kelas: tidak perlu ada hitung-hitungan lagi antara RS dan pasien. Urusannya tinggal RS dengan BPJSK. Dengan demikian, sebaiknya tidak perlu ada pemahanan: pokoknya daftar kelas 3 dulu, baru nanti kalau terpaksa rawat inap kita tinggal naik kelas.Â
Tapi bagaimana kalau ternyata kamar nya penuh?
Ini memang masalah bersama kita: kunjungan sangat meningkat di era JKN (ada yang melaporkan bahkan sampai 3 kali lipat daripada sebelum JKN), sementara kapasitas cenderung tidak bertambah signifikan. Satu sisi kita syukuri karena berarti hambatan ekonomis sudah banyak berkurang sehingga orang mudah berobat. Tapi sisi lain, bisa terjadi kekurangan tempat perawatan.Â
Tanggung jawab ketersediaan faskes dan SDM kesehatan adalah tanggung jawab pemerintah dan pemda (pasal 35 Perpres 12/2013 dan tidak direvisi dalam Perpres 19/2016). Hanya tentu saja perlu waktu dan biaya untuk memenuhinya di sebagian besar wilayah Indonesia.Â