Karena itu lah kita kembali diingatkan untuk menjalankan sesuatu yang lama kita agak lupa: rujukan berjenjang. Harapannya tersaring benar pasien yang memang membutuhkan layanan ke RS. Tujuannya: agar RS tidak dipenuhi pasien yang sebenarnya cukup di faskes primer, sehingga yang benar-benar membutuhkan malah tidak mendapat tempat.Â
Di wilayah-wilayah terpencil, perbatasan dan kepualauan, ada perlakuan khusus baik dalam hal penetapan aturan kapitasi, pemberi layanan maupun pemberian kompensasi. Hal ini yang masih perlu dirumuskan lebih rinci mengingat perlu waktu untuk dapat menyebarkan faskes dan SDM.
Yang jelas: jangan gegabah menuding RS bohong soal tempat tidur penuh. Ada beberapa pertimbangan yang harus masuk dalam kalkulasi. Sisi lain, bagi RS pemerintah, ada juga pejabat politik yang menetapkan kebijakan: RS tidak boleh menolak pasien, apapun kondisinya, dan seberapapun sudah penuhnya pasien di dalamnya. Padahal sebenarnya ada klausul dimana RS memang justru harus "menolak" menerima pasien. Alasanya karena memang RS yang bersangkutan tidak sanggup memenuhi kebutuhan medis pasien. Tentu saja, caranya tidak asal menolak, tetapi ada prosedur penanganan kegawatan dan stabilisasi sebelum kemudian dirujuk ke RS yang mampu memenuhi kebutuhan medis pasien.Â
Kalau memang benar-benar penuh, dan tidak ada kamar di hak kelasnya, bagaimana?Â
Regulasi Permenkes 28/2014 menyatakan bahwa:
4. Dalam hal ruang rawat inap yang menjadi hak peserta penuh, peserta dapat dirawat di kelas perawatan satu tingkat lebih tinggi paling lama 3 (tiga) hari. Selanjutnya dikembalikan ke ruang perawatan yang menjadi haknya. Bila masih belum ada ruangan sesuai haknya, maka peserta ditawarkan untuk dirujuk ke fasilitas kesehatan lain yang setara atau selisih biaya tersebut menjadi tanggung jawab fasilitas kesehatan yang bersangkutan.Â
Klausul ini yang terus terang memberatkan bagi RS. Terasa tidak adil. Akan menjadi lebih adil bagi RS bila bunyinya "Bila masih belum ada ruangan sesuai haknya, maka peserta ditawarkan untuk dirujuk ke fasilitas kesehatan lain yang setara atau selisih biaya tersebut menjadi tanggung jawab fasilitas kesehatan yang bersangkutan pasien yang bersangkutan". Karena itulah biasanya opsi ini tidak dipilih oleh RS. Masyarakat kiranya juga paham keluhan pihak RS dalam hal ini, bila harus menanggung beban.Â
Namun demikian, bukan berarti RS semena-mena: asas kemanusian dan menolong tetap dikedepankan. Bila kasusnya memang gawat, harus segera ditangani, maka pasien tetap diterima walau hak kelasnya penuh, kemudan dirawat di kelas atasnya. Hal seperti ini juga sering dilakukan oleh RS. Nanti setelah pasien lebih stabil, dan ada tempat, baru dikembalikan ke kelas yang menjadi hak nya, atau sesuai keinginan pasien bila ingin naik kelas. Hal yang demikian sebaiknya dikomunikasikan dan masyarakat juga memahami kondisinya agar tidak timbul salah paham setelah di akhir proses perawatan.Â
Bagaimana kalau kamar di kelas atasnya juga penuh?
Permenkes 28/2014:
5. Apabila kelas sesuai hak peserta penuh dan kelas satu tingkat diatasnya penuh, peserta dapat dirawat di kelas satu tingkat lebih rendah paling lama 3 (tiga) hari dan kemudian dikembalikan ke kelas perawatan sesuai dengan haknya. Apabila perawatan di kelas yang lebih rendah dari haknya lebih dari 3 (tiga) hari, maka BPJS Kesehatan membayar ke FKRTL sesuai dengan kelas dimana pasien dirawat.