Mengapa Bagian Keuangan begitu "kejam"? Begitu "kaku"? Karena mereka bekerja berdasarkan bukti material, bukti otentik, bukti hitam di atas putih. Kalau sampai terbukti mereka mencairkan tanpa landasan bukti seketat itu, maka mereka harus mempertanggung jawabkan, meski hanya serupiah sekalipun.Â
Dalam kenyataannya kok bisa beda-beda ya antar instansi? Ada bagian keuangan yang "pengertian", ada yang sangat "strict", ada yang longgar, ada pula yang mengajak "86". Sebenarnya, acuannya sama, regulasinya sama, tetapi memang masing-masing pihak yang terlibat, jelas berpotensi memiliki penafsiran dan implementasi bervariasi.Â
Menghadapi "bagian keuangan" seperti itu, ada yang yang kemudian terjebak "yang penting prosedur terpenuhi, hasil tugasnya urusan nanti", disamping tentu saja lebih banyak yang tetap berusaha memenuhi dan menjaga baik "isi" maupun "kemasan prosedural". Dalam hal ini memang berlaku pembagian KPK terhadap tindakan korupsi sebagai "by sistem, by need and by greed". Kita semua berpotensi untuk menjadi atau terjebak pada salah satu atau lebih dari ketigas kondisi tersebut.
Tapi kok verifikator sampai mengurusi rekam medis?Â
Awal JKN 2014, Kemenkes sebagai regulator belum menerbitkan Petunjuk Teknis Verifikasi. Padahal proses verifikasi harus sudah berjalan. Akhirnya BPJSK menerbitkan Buku Petunjuk Verifikasi Klaim. Baru pada Juni 2014, terbit Permenkes 28/2014 yang salah satu bagiannya menjelaskan tentang proses verifikasi:
Sebenarnya sejak terbitnya Permenkes 28/2014, juga diskusi-diskusi terkait verifikasi, teman-teman BPJSK sudah berusaha lebih menahan diri. Tetapi memang secara regulasi, masih ada kewenangan itu. Apalagi variasi pemahaman. Maka risiko terjadi salah paham memang masih ada.Â
Lantas bagaimana?Â
Kembali, lebih tepat bila masalah seperti dalam awal tulisan ini, diselesaikan di TKMKB. Di sanalah bisa didiskusikan dengan jernih. Isi TKMKB adalah wakil dari RS dan Faskes lainnya, serta wakil dari 5 organisasi profesi (IDI, PPNI, IBI, PDGI, IAI). Dengan demikian, masalah bisa didudukkan, karena bukan tidak mungkin antara pihak RS dan verifikator sama-sama memiliki alasan. Justru perlu didudukkan agar bisa diurai masalahnya menuju suatu solusi.Â
Hasilnya bisa dijadikan yurisprudensi. Kalau masalah seperti di atas itu "diselesaikan secara adat" atau sekaligus "dibiarkan menggantung karena saling curiga", maka tidak akan menghasilkan apa-apa selain justru menambah masalah. Â