Mohon tunggu...
Tonang Dwi Ardyanto
Tonang Dwi Ardyanto Mohon Tunggu... Dokter - Akademisi dan Praktisi Pelayanan Kesehatan

Dosen, Dokter, ... Biasa saja.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Verifikasi Oh Verifikasi

1 Februari 2016   17:50 Diperbarui: 2 Februari 2016   04:54 2301
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Alasan orang dirawat karena sakit jantung biasanya itu gagal jantung akut, gagal jantung pada penderita penyakit jantung koroner (CAD), gagal jantung pada penderita penyakit jantung hipertensif (HHD), gagal jantung pada penderita penyakit jantung rematik (RHD). Ada keadaan akut yang membutuhkan perawatan entah itu gagal jantung, gangguan irama yang berbahaya, sindrom koroner akut, dsb.

Eh diverifikasi malah disuruh HHD, CAD, RHD jadi diagnosis utama / alasan kenapa pasien dirawat. Status dikembalikan, salah diagnosisnya katanya. Ujungnya tarif jatuh bebas. Kok bisa verifikator nolak urutan diagnosis yang saya buat! Dimana kompetensinya.

Ada beberapa hal yang perlu dijernihkan. Pertama, memang ada beda sudut pandang antara sisi Dokter Penanggung Jawab Pelayanan (DPJP) sebagai Klinisi dengan Verifikator dari sisi verifikasi koding untuk billing. Sebagaimana dibahas pada tulisan sebelumnya tentang Dokter dan Koding, maka memang sudut pandangnya beda. Tulisan tersebut juga mencoba menyusun langkah solusi bersama antar pihak. 

Sebut saja misalnya definisi diagnosa utama. Dari sisi klinisi, tentu Diagnosa Utama (DU) adalah yang paling mendasari terjadinya masalah kesehatan bagi pasien. Sedangkan bagi proses koding untuk tujukan billing, DU adalah (a) Diangosis yang paling berbahaya atau mengancam kehidupan, (b) Diagnosis yang paling banyak membutuhkan sumber daya pelayanan, dan/atau (c) diagnosis yang menyebabkan masa perawatan paling lama. Karena itu, tidak jarang terjadi perbedaan dalam hal penetapan diagnosis utama dan diagnosis sekunder. 

Maka dalam Permenkes 27/2014, ada klausul reseleksi. Dalam klausul ini lah, bisa terjadi perbedaan dalam konsep menuliskan Diagnosis Utama antara klinisi dan Koder RS (bahkan bagi Perekam Medis sekalipun, bisa saja beda dalam pengkodean dibandingkan DU yang ditulis klinisi).

Ringkasnya: bagi klinisi, DU menggambarkan apa yang paling mendasari suatu perjalanan penyakit (kontinuum) yang tidak hanya mencakup satu episode perawatan. DU dalam hal ini menggambarkan perjalanan kasus seorang pasien secara mendekati utuh. Sedangkan bagi Koder, DU lebih bersifat menggambarkan kondisi pada satu episode perawatan atau pelayanan karena mengacu pada diagnosis mana yang paling menimbulkan besaran biaya yang harus dikeluarkan. Jelas sekali bisa terjadi perbedaan dalam hal ini.

Ada 5 kelompok kriteria Reseleksi ini dalam Permenkes 27/2014. Dengan reseleksi ini bisa terjadi perubahan urutan diagnosis dari yang ditulis oleh DPJP ketika mengalami proses koding:

 

Apakah dengan demikian berarti setiap ada reseleksi maka DPJP harus mengganti DU?

Tidak. Karena sekali lagi, memang beda sudut pandang. Soal isi Rekam Medis (RM) tetap adalah wilayah DPJP. Dasarnya jelas: patofisiologi. Tetapi memang ada baiknya juga dalam proses audit medis berbasis rekam medis, terjadinya reseleksi yang demikian menjadi salah satu kriteria untuk kemudian dikaji bersama. Bukan lantas DPJP harus mengikuti reseleksi. Tetapi lebih untuk mengkaji apakah PPK yang ditetapkan telah dipatuhi, atau memang PPK itu sudah saatnya diperbarui.

Kembali ke kasus tadi, tidak elegan kalau kita komentari secara khusus, karena toh jelas kita tidak tahu persis duduk masalahnya di lapangan. Langkah yang elegan adalah membawanya ke TKMKB. Di sanalah bisa dibahas secara berimbang dan bermartabat. Mengapa? Saya rasa kalau DPJP "ribut" dengan Verifikator BPJSK, itu "nggak level". Bukan bermaksud merendahkan harkat kemanusiaannya, tetapi lebih bahwa memang "we are not playing in the same level". Beda pijakan, beda sudut pandang, mudah terjadi salah paham.

Apakah verifikator bisa saja salah? Bisa saja, mengapa tidak? Risiko kesalahan pada orang yang bertugas memverifikasi itu cenderung besar, apalagi bila menyangkut soal keuangan. Maka mereka juga cenderung harus tegas bahkan kaku.

Sebaliknya, apakah pemberi layanan pasti benar? Tinggal dikaji bersama di TKMKB agar berimbang dan bermartabat. 

Apakah harus ada yang salah? Tidak juga. Bisa saja terjadi, keduanya memiliki alasan masing-masing. 

Tetapi apapun itu, lebih baik dijernihkan agar didapatkan solusi yang bisa menjadi yurisprudensi. 

Masalah kedua, apakah benar verifikator itu "pokoknya cari yang klaimnya lebih murah"?

Bukan. Tugas BPJSK sesuai Pasal 24 ayat 3 UU SJSN 40/2004 adalah: ... mengembangkan sistem pelayanan kesehatan, sistem kendali mutu pelayanan, dan sistem pembayaran pelayanan, kesehatan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas. Itu memang tugas berat. Maka tuntutan verifikator juga jelas: efektif dan efisien.

Tuntutan berat itu tidak jarang membuat teman-teman BPJSK tanpa sadar melangkah menyerempet wilayah lain. Apalagi bila memang terjadi asimetri informasi sehingga memunculkan penafsiran bervariasi. Asimetri ini terjadi pada para pihak, termasuk pihak-pihak di luar BPJSK. 

Tapi kok terus main paksa begitu? 

Bayangkan ketika suatu hari seorang PNS pulang dari perjalanan dinas. Tiket di tangan, Surat tugas ada, SPPD tertanda tangani dengan lengkap, sertifikat pelatihan ada, bahkan berita acara pelaksanaan tugas dari instansi yang dituju juga ada. Tapi ternyata, boarding pass penerbangan terselip entah kemana. Apa lacur? Maaf, uang perjalanan dinas tidak bisa dicairkan. Bahkan persekot yang telah diberikan, pembelian tiket yang telah dibayarkan, semua harus dikembalikan. 

Lho, bukankah bukti-bukti pelaksanaan tugas jelas ada? Masak tidak percaya? Bukan, Ini tidak diada-adakan, ini dokumen asli lho. Tapi, maaf, bukan soal tidak percaya, bukan soal mengada-ada, prosedurnya harus demikian. Tetap tidak boleh dicairkan. 

Mengapa Bagian Keuangan begitu "kejam"? Begitu "kaku"? Karena mereka bekerja berdasarkan bukti material, bukti otentik, bukti hitam di atas putih. Kalau sampai terbukti mereka mencairkan tanpa landasan bukti seketat itu, maka mereka harus mempertanggung jawabkan, meski hanya serupiah sekalipun. 

Dalam kenyataannya kok bisa beda-beda ya antar instansi? Ada bagian keuangan yang "pengertian", ada yang sangat "strict", ada yang longgar, ada pula yang mengajak "86". Sebenarnya, acuannya sama, regulasinya sama, tetapi memang masing-masing pihak yang terlibat, jelas berpotensi memiliki penafsiran dan implementasi bervariasi. 

Menghadapi "bagian keuangan" seperti itu, ada yang yang kemudian terjebak "yang penting prosedur terpenuhi, hasil tugasnya urusan nanti", disamping tentu saja lebih banyak yang tetap berusaha memenuhi dan menjaga baik "isi" maupun "kemasan prosedural". Dalam hal ini memang berlaku pembagian KPK terhadap tindakan korupsi sebagai "by sistem, by need and by greed". Kita semua berpotensi untuk menjadi atau terjebak pada salah satu atau lebih dari ketigas kondisi tersebut.

Tapi kok verifikator sampai mengurusi rekam medis? 

Awal JKN 2014, Kemenkes sebagai regulator belum menerbitkan Petunjuk Teknis Verifikasi. Padahal proses verifikasi harus sudah berjalan. Akhirnya BPJSK menerbitkan Buku Petunjuk Verifikasi Klaim. Baru pada Juni 2014, terbit Permenkes 28/2014 yang salah satu bagiannya menjelaskan tentang proses verifikasi:

Jadi, Buku terbitan BPJSK itu ditetapkan oleh Permenkes sebagai panduan. Definisi awal proses verifikasi menurut Pemenkes 28/2014 sebenarnya "hanya" menguji kebenaran administrasi pertanggung jawaban pelayanan". Mirip sekali dengan kerja "Bagian Keuangan" tadi. Tetapi di lapangan, mereka juga mendapatkan tugas sesuai isi Buku Petunjuk Teknis Verifikasi. 

Di dalamnya ternya tugasnya lebih dari "sekedar" verifikasi seperti isi Permenkes 28/2014 tersebut. Masalahnya, buku itu sah. Jadi verifikator memang memiliki alasan dengan langkahnya yang suka bikin keki karena dirasa masuk terlalu jauh. Salah satu isu sentralnya adalah akses ke Rekam Medis. Perlu kejernihan berpikir bersama agar meminimalkan benturan akibat beda sudut pandang itu juga (akan dibahas tersendiri). 

Sebenarnya sejak terbitnya Permenkes 28/2014, juga diskusi-diskusi terkait verifikasi, teman-teman BPJSK sudah berusaha lebih menahan diri. Tetapi memang secara regulasi, masih ada kewenangan itu. Apalagi variasi pemahaman. Maka risiko terjadi salah paham memang masih ada. 

Lantas bagaimana? 

Kembali, lebih tepat bila masalah seperti dalam awal tulisan ini, diselesaikan di TKMKB. Di sanalah bisa didiskusikan dengan jernih. Isi TKMKB adalah wakil dari RS dan Faskes lainnya, serta wakil dari 5 organisasi profesi (IDI, PPNI, IBI, PDGI, IAI). Dengan demikian, masalah bisa didudukkan, karena bukan tidak mungkin antara pihak RS dan verifikator sama-sama memiliki alasan. Justru perlu didudukkan agar bisa diurai masalahnya menuju suatu solusi. 

Hasilnya bisa dijadikan yurisprudensi. Kalau masalah seperti di atas itu "diselesaikan secara adat" atau sekaligus "dibiarkan menggantung karena saling curiga", maka tidak akan menghasilkan apa-apa selain justru menambah masalah.  

Penyelesaian secara sistem?

Rata-rata, dari 100% berkas klaim yang diajukan, maka sekitar 20-30% yang dikembalikan karena ada catatan. Selanjutnya, dilakukan perbaikan atau melengkapi berkas yang kurang baru kemudian diajukan lagi. Sekarang sedang dikembangkan aplikasi verifikasi secara digital. Jadi sekitar 70% kasus nanti cukup lewat aplikasi, karena toh sekarang juga sekitar 70% sebenarnya "tanpa masalah". Baru nanti terhadap yang 20-30% itu lah yang dilakukan verifikasi secara manual. 

Mestinya verifikator itu dokter, bahkan dokter ahli, masak kasus saya bedah kok diverifikasi perawat, tahu apa dia?

Justru kalau kita kembalikan kepada definisi proses verifikasi, maka verifikator itu tidak harus Dokter, apalagi Dokter Spesialis. Kalau verifikator Dokter, malah berpotensi lebih tajam beda pandangnya, karena verifikator menjadi lebih mudah terjebak menjadi auditor, bukan sekedar verifikator. 

Mari kita berikan kepada mereka flow-chart setiap kasus. Dengan demikian, lebih mudah bagi verifikator bekerja: sesuai flow-chart berarti lolos, tidak sesuai flow-chart dikembalikan. Terhadap yang kembali ini bisa dilakukan kajian, apakah murni karena salah administrasi saja, atau memang ada yang kurang lengkap, atau sekalian juga barangkali flow-chartnya perlu diperbarui. Apa dasar flow-chart? PPK kita. Jadi nyaman kan kalau "kasus kita diverifiksi berdasarkan PPK yang kita susun sendiri juga"? Bahwa nanti misalnya verifikator BPJSK merasa ada yang kurang pas, tinggal dibawa juga ke TKMKB, dibahas di sana. 

Dengan cara itu pula, kita bisa meminta BPJSK untuk menetapkan baku mutu layanan: proses verifikasi sekian kasus per hari. Dengan demikian juga menjadi jelas berapa lama kita harus menunggu. Butuh kerjasama: pemberi layanan siap dengan PPK (dan flow-chart agar lebih mudah), dan verifikator bekerja berbasis PPK tersebut. 

Ah, paling juga tetap saja di lapangan ada verifikator yang ngaco!

Regulasi memang masih terus bergerak. Masih banyak yang harus diselaraskan. Tetapi yang penting adalah semangat para penyelenggaranya. Mari sekarang kita saling bercermin. Kita, ya kita semua, termasuk saya.

#SalamKawalJKN

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun