Aku putar otak, lalu menghubungi K, yang semalaman menunggui Ibunya.
"Mas, coba kamu bisikkan ke telinga Ibu. Bilang, Bu, aku insyaallah baik-baik saja. Ada Pakde, ada Eyang, ada Bude. Insyaallah aku akan kuliah dan selesai dengan baik. Ibu jangan khawatir. Aku insyaallah baik-baik saja. Aku ikhlas jika Ibu mau berpulang," kataku melalui telepon. "Iya, Pakde," kata K. Suaranya lirih dan serak.
Adikku kemudian melaporkan, K berbisik pada Ibunya sambil berlinang air mata. Kiki tidak bergeming.
Tidak lama kemudian, indikator jantungnya tidak lagi berkedip. Alat bantu nafasnya berhenti. Kiki menghembuskan nafasnya yang terakhir. Tenang.
Rupanya itu yang ia tunggu: kepastian bahwa putra tunggal kesayangannya akan baik-baik saja dan bisa menyelesaikan pendidikannya dengan baik.
Sungguh naluri seorang Ibu yang sanggup menahan tercerabutnya nyawa.
Ketika jenazah tiba di rumah, aku menyaksikan senyum menghiasi wajah almarhumah. Tidak terlihat lagi raut muka kesakitan seperti yang kami lihat selama beberapa bulan terakhir. Wajahnya terlihat damai, dan tenang, husnul khatimah insyaallah.
Ketika Waktu Terasa Membeku
Usai dimandikan, jenazah kami sholatkan dan makamkan petang itu juga. Masjid kompleks penuh dengan orang-orang yang menyolatkan. Para tetangga mencarikan tempat makam yang indah, di area yang baru dibuka, di bagian atas sebuah bukit kecil, menghadap lembah yang rimbun, tidak jauh dari rumah. Sesuai bagi almarhumah yang memang menyukai keindahan.Hujan lebat yang turun sejak sore berangsur berhenti saat jenazah tiba di pemakaman. Kekhawatiran bahwa liang lahat akan becek, tidak terbukti. Tanah menjadi lembut tapi tetap kering.
Aku masuk ke liang lahat dengan tercekat.
Baru Juni lalu aku menerima jenazah adikku dan meletakkannya di liang lahat. Lima bulan kemudian aku harus melakukan hal yang sama bagi adikku yang lain.
Sulit menahan air mata agar tidak berderai. Di dalam liang lahat, waktu terasa membeku. Sunyi. Hening.