Mohon tunggu...
Tomi Satryatomo
Tomi Satryatomo Mohon Tunggu... Konsultan - Konsultan Media, Pembelajar Komunikasi, Mantan Jurnalis TV

Catatan-catatan ringan dan acak dari kehidupan sehari-hari. Silakan berkomentar, menyampaikan kritik dan saran, selama disampaikan dengan baik, tidak mengandung fitnah atau melanggar SARA.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Naluri yang Menunda Ajal dan Butir-Butir Nasi Amal Jariyah

2 Juni 2024   07:53 Diperbarui: 2 Juni 2024   07:57 566
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Azan Jumat sedang berkumandang di masjid Al Hijrah, di Depok. Ponselku bergetar. Biasanya aku tidak angkat. Tapi di layar, tertera nama adikku. Dia sedang di RSCM, menunggui adik kami paling bungsu, Rizki Kahesti Wahyuningtyas atau akrab dipanggil Kiki."Mas, Kiki udah nggak ada," Suara diujung sana terdengar terisak..

Imam Jumat naik ke mimbar.

"Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuhu," katanya membuka khutbah Jumat.

Hari itu, Jumat 17 November 2023, persis saat azan Jumat berkumandang, adik bungsu kami itu memenuhi panggilan Rabb-Nya dengan tenang.

Aku menyelesaikan sholat Jumat dengan hati gundah. Begitu salam penutup sholat diucapkan, aku langsung beranjak pergi.

Ibu di rumah harus diberitahu. Harus aku yang memberitahu, sebagai anak sulung, pengganti Bapak yang sudah almarhum.

Ibu sudah mengikhlaskan Kiki jika memang sudah saatnya berpulang. Itu yang disampaikan Ibu saat menunggui Kiki yang mulai kehilangan kesadarannya, sehari sebelumnya.

Tetap saja tangis Ibu pecah, ketika aku datang bersimpuh, mencium tangannya dan memeluk Ibu erat-erat, sambil berbisik menyampaikan kabar duka itu.

Buat Ibu, ini masa-masa yang berat.

Sebelumnya, pada bulan Juni 2023, anak Ibu yang kedua, Bhimo Sambodo Trahutomo, wafat sepulang dari dirawat di rumah sakit di Malang, Jawa Timur. Almarhumah Kiki masih sempat melayat. Lima bulan kemudian, Kiki ternyata menyusul berpulang.Tidak mudah bagi Ibu untuk memikul duka kehilangan dua anak berturut-turut, hanya dalam hitungan bulan. Apalagi dalam usia beliau yang sudah menginjak 80 tahunan.

Dirawat
Sebelum berpulang, almarhumah Kiki sudah hampir setahun terakhir kehilangan nafsu makan. Tiap kali dia mencoba makan atau minum, langsung muntah karena merasa mual. Tapi Kiki selalu menolak diperiksa dokter. Sampai akhirnya tetangga-tetangga setengah memaksa Kiki untuk dibawa ke dokter setelah hampir kolaps.

Pemeriksaan laboratorium menunjukkan kadar hemoglobin yang terlalu rendah karena kurangnya asupan makanan. Dua hari ditransfusi darah, kadar hemoglobin Kiki kembali normal. Tapi dokter menyarankan pemeriksaan lanjutan karena curiga ada pertumbuhan sel yang tidak biasa.

Pemeriksaan di RSUI dan hasil biopsi di RSCM mengkonfirmasi kecurigaan itu. Kiki didiagnosis kanker serviks stadium 3A. Ia harus menjalani penyinaran, lalu dievaluasi. Jika diperlukan, bisa dilanjutkan dengan kemoterapi.

Mulailah rutinitas baru. Setelah berbagai pertimbangan, akhirnya diputuskan Kiki diantar ke RSCM dari Depok oleh adik kami yang ketiga setiap dini hari untuk menjalani penyinaran.

Kiki juga minum suplemen kesehatan 'Utsukushi' dan 'Subarashi' dari Jepang, atas saran seorang sahabat. Para penyintas kanker yang mendapat manfaat dari suplemen ini, berbagi testimoni dan ikut menyemangati Kiki.

Di RSCM sendiri, para pasien yang sama-sama harus menjalani penyinaran, juga saling menyemangati, terdorong oleh nasib dan rutinitas serupa.

Kondisi Kiki sempat membaik. Optimisme sempat merekah. Tapi kemudian kondisinya menurun lagi. Pemeriksaan-pemeriksaan berikutnya menunjukkan kankernya sudah menjalar ke organ internal lainnya, termasuk ginjal.

Kiki makin lemah. Badannya tinggal tulang berbalut kulit. Dokter memutuskan untuk dirawat inap di RSCM untuk observasi. Alhamdulillah Kiki bisa segera dapat kamar yang memadai.

Sejumlah kawan, termasuk pimpinan DPRD DKI serta sahabat yang kebetulan menjadi salah satu pimpinan di RSCM, turut mengulurkan bantuan sebisa mungkin dalam kapasitas mereka masing-masing, yang mengetahui kondisi adik kami itu. Perhatian dan simpati mereka turut membesarkan hati Kiki.

Karangan Bunga Tanda Simpati/Dok. pri
Karangan Bunga Tanda Simpati/Dok. pri
Tapi perburukan yang dialami Kiki terus berlanjut. Dokter menyampaikan, tidak banyak lagi yang bisa mereka lakukan. Sebelum hilang kesadarannya, Kiki sempat menyampaikan ingin ketemu lagi dengan Ibu dan putra tunggalnya.

Naluri Seorang Ibu
Atas bantuan pihak RSCM, Ibu dan putra tunggal Kiki difasilitasi untuk bisa bertemu langsung, pada Kamis (16/11/23) malam.

Menyaksikan Ibu terisak-isak mengusap-usap kepala Kiki sambil terus berdoa, sementara Kiki hanya bisa merespon dengan menggenggam lemah, menjadi pemandangan yang memilukan. Di telinga Kiki, Ibu berbisik mengikhlaskan jika memang sudah saatnya anak bungsunya itu berpulang.

Genggaman Tangan/dok. pri
Genggaman Tangan/dok. pri
Sama memilukannya ketika melihat K, putra tunggal Kiki, termenung melihat Ibunya yang terbaring nyaris tidak bergerak lagi. Hanya desis suara alat bantu oksigen dan denting teratur indikator jantung yang menandakan masih ada kehidupan.

Esok harinya, suara alat bantu oksigen dan indikator jantung makin melambat. Tapi Kiki masih bertahan. Seolah ada yang ditunggu. Tapi mulutnya sudah membisu.

Aku putar otak, lalu menghubungi K, yang semalaman menunggui Ibunya.

"Mas, coba kamu bisikkan ke telinga Ibu. Bilang, Bu, aku insyaallah baik-baik saja. Ada Pakde, ada Eyang, ada Bude. Insyaallah aku akan kuliah dan selesai dengan baik. Ibu jangan khawatir. Aku insyaallah baik-baik saja. Aku ikhlas jika Ibu mau berpulang," kataku melalui telepon. "Iya, Pakde," kata K. Suaranya lirih dan serak.

Adikku kemudian melaporkan, K berbisik pada Ibunya sambil berlinang air mata. Kiki tidak bergeming.

Tidak lama kemudian, indikator jantungnya tidak lagi berkedip. Alat bantu nafasnya berhenti. Kiki menghembuskan nafasnya yang terakhir. Tenang.

Rupanya itu yang ia tunggu: kepastian bahwa putra tunggal kesayangannya akan baik-baik saja dan bisa menyelesaikan pendidikannya dengan baik.

Sungguh naluri seorang Ibu yang sanggup menahan tercerabutnya nyawa.

Ketika jenazah tiba di rumah, aku menyaksikan senyum menghiasi wajah almarhumah. Tidak terlihat lagi raut muka kesakitan seperti yang kami lihat selama beberapa bulan terakhir. Wajahnya terlihat damai, dan tenang, husnul khatimah insyaallah.

Ketika Waktu Terasa Membeku
Usai dimandikan, jenazah kami sholatkan dan makamkan petang itu juga. Masjid kompleks penuh dengan orang-orang yang menyolatkan. Para tetangga mencarikan tempat makam yang indah, di area yang baru dibuka, di bagian atas sebuah bukit kecil, menghadap lembah yang rimbun, tidak jauh dari rumah. Sesuai bagi almarhumah yang memang menyukai keindahan.Hujan lebat yang turun sejak sore berangsur berhenti saat jenazah tiba di pemakaman. Kekhawatiran bahwa liang lahat akan becek, tidak terbukti. Tanah menjadi lembut tapi tetap kering.

Aku masuk ke liang lahat dengan tercekat.

Baru Juni lalu aku menerima jenazah adikku dan meletakkannya di liang lahat. Lima bulan kemudian aku harus melakukan hal yang sama bagi adikku yang lain.

Sulit menahan air mata agar tidak berderai. Di dalam liang lahat, waktu terasa membeku. Sunyi. Hening.

Aku hanya bisa mengusap-usap kepala Kiki untuk terakhir kalinya, merapal semua doa dan ayat yang aku hafal, lalu berpamitan, berbisik agar tanah ciptaan Allah SWT agar menerima jenazah adikku dengan baik.

Sambil menyaksikan liang lahat mulai ditimbun tanah, aku panjatkan doa lagi, agar Allah SWT melipatgandakan pahala amal Kiki, melapangkan kuburnya, mengampuni dosa dan salah khilafnya serta menjauhkannya dari siksa kubur. Begitu banyak orang yang bersaksi tentang kebaikan-kebaikan almarhumah semasa hidupnya.

Allahumaghfirlaha warhamha wa'afiha wa'fuanha.

Butir-butir Amal Jariyah
Tahlilan hari ketiga baru selesai.

Pak Ramli, Imam di Masjid Al Hijrah, berbisik, "Kita kehilangan Bu Kiki. Biasanya setiap bulan puasa, Bu Kiki masak untuk buka puasa para jamaah. Rasanya enak sekali. Sekarang kita kehilangan."

Almarhumah Kiki memang dikenal jago masak. Dia teliti memilih bahan-bahan masakannya, dari para  penjual yang jadi langganannya di pasar. Kiki juga telaten memasak. Tangannya dingin. Hampir semua jenis masakan ia kuasai, mulai dari berbagai resep khas Indonesia sampai roti dan pastry.

Tidak heran, Kiki punya pelanggan-pelanggannya sendiri. Dari mulut ke mulut, setiap hari ada saja yang memesan makanan, baik untuk kebutuhan sehari-hari, buka puasa bersama, sedekah Jumat berkah hingga perayaan di kantor atau rumah.

Cukup sering juga Ibu-ibu di kompleks tempat Kiki tinggal, datang ke rumah membawa bahan-bahan mentah dan minta tolong dimasakkan. Mereka lalu makan bareng-bareng, sambil ngobrol-ngobrol. Guyub.

Kiki juga rajin menyumbangkan makanan masakannya untuk makan siang jamaah sholat Jumat di masjid dekat rumah, sebagai sedekah Jumat berkah

Apalagi setiap tanggal 9 April, saat Kiki ulang tahun. Nasi kuningnya yang pulen dengan aneka lauk pauk yang lezat, jadi incaran.

Baru kali ini, 9 April 2024, tidak ada lagi nasi kuning lezat, sebagai syukuran ulang tahun. Harusnya usianya 49 tahun.

Baru kali ini pula menjelang puasa Ramadan 1445 H, tidak ada lagi hidangan lezat berbuka puasa yang menggugah orang datang dengan penuh semangat.

Insyaallah setiap butir nasi, setiap tetes kuah dan setiap potong lauk pauk yang Kiki pernah masak, yang dinikmati orang-orang dan membuat bersemangat untuk bekerja serta beramal lagi, menjadi amal jariyah Kiki hingga akhir zaman.

Selamat istirahat ya Ki. Salam buat almarhum Bapak dan mas Bhimo. Alfatihah.

Insyaallah amanah agar K sekolah dengan baik, akan kami tunaikan. Insyaallah K baik-baik saja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun