Mohon tunggu...
Boris Toka Pelawi
Boris Toka Pelawi Mohon Tunggu... Aktor - .

.

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Mengeluhlah karena Pekerjaan, Bukan karena Bekerja

20 Desember 2020   12:47 Diperbarui: 20 Desember 2020   19:32 550
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Illustrasi (Sumber gambar: pixabay.com)

Adalah hal yang wajar jika seseorang mengeluh tentang pekerjaannya. Saya juga pernah berada di posisi yang demikian. Namun menjadi tidak wajar saat seseorang mengeluh karena dia bekerja. 

Hal inilah yang saya sadari beberapa bulan selama masa pandemi ini. Saya melihat banyak orang kehilangan pekerjaan dan saya melihat diri saya yang masih bekerja. Lalu saya pun kemudian menyadari beberapa hal yang sering saya lakukan:

Pertama, suatu hari saya sering mengeluh karena pekerjaan saya. Saya mengeluh karena saya merasa pekerjaan saya tidak cocok dengan saya.

Waktu itu saya masih bekerja di industri perbankan. Saya merasa kultur dan jobdesk yang diberikan pada saya tidak sesuai dengan karakter saya. 

Setelah bertahun-tahun memaksakan diri mengerjakannya, karena tidak diiringi rasa senang. Saya pun sadar kalau saya tidak akan pernah sukses di bidang tersebut.

Karena tidak ada rasa senang sama sekali, maka hasilnya tidak maksimal. Karena hasilnya tidak maksimal, maka hasil kerja saya kalah dengan hasil kerja orang lain. Saya pun menjadi tidak kompetitif, ini adalah kondisi di mana saya mengeluh karena pekerjaan saya, saya mengeluh karena profesi saya.

Kedua, saya mulai malas dan mengeluh karena bekerja. Karena merasa tidak cocok dengan pekerjaannya, saya mulai merasa bekerja itu hal yang menyebalkan. Harus bangun pagi, mandi pagi padahal cuaca lagi dingin sekali, harus panas-panasan, macet-macetan, dan harus stres begitu sampai di tempat kerja. Akhirnya saya sampai pada titik di mana saya menyimpulkan bahwa bekerja bukanlah sesuatu yang akan saya lakukan lagi.

Saya memutuskan untuk merancang usaha sendiri, hingga memutuskan untuk menjadi konten kreator. Kendalanya adalah saya belum tahu mau usaha apa, dan kalau jadi konten kreator saya juga belum tahu harus membuat apa.

Ada beberapa usaha yang muncul di kepala, tapi butuh modal yang tidak sedikit. Beberapa bank memang datang menawarkan pinjaman, tapi jumlahnya tanggung dan terlalu berisiko.

Untuk usaha yang belum matang idenya, belum pasti hasilnya, menerima pinjaman dari bank dengan bunga tinggi sama saja dengan bunuh diri secara ekonomi.

Lagipula di tengah pandemi Covid-19 seperti sekarang ini, rasanya bukan waktu yang tepat untuk membuka usaha dengan strategi yang standar. Misal, sewa toko lalu letakkan dagangan begitu saja. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun