"Karin, ibu mau minta maaf," ujar ibu ketika keduanya bersantai di ruang keluarga.
"Maaf kenapa, Bu?" tanya Karin dengan ekspresi wajah bingung.
"Ibu sempat mengira kalau setelah Pak Sakim pindah, semangat belajar kamu jadi menurun. Ibu khawatir, Sayang. Tapi Bu Nurul bilang, Karin tetap hebat. Nilai-nilai Karin juga nggak ada yang menurun. Karina hebat, ibu bangga sama kamu, Nak."
"Bu, Pak Sakim selalu bilang, kalau kita mencintai masa depan kita, kelak kita akan mencintai ilmu yang kita dapatkan. Kalau murid bisa menyayangi gurunya itu adalah hadiah. Jadi, nggak ada alasan buatku untuk jadi malas belajar. Aku mau nanti bukan hanya Ibu dan Ayah yang bangga sama Karin, tapi Pak Sakim juga."
Mata ibu berkaca-kaca. Ia tak menyangka Karin begitu hebat untuk menghadapi kesedihannya yang lalu. Bukan hanya ibu, sekolah dan guru-gurunya pun ikut membentuk pribadi Karin menjadi sehebat ini.
*
Setahun berlalu, Karina pulang dari sekolah dengan wajah yang sangat ceria, ibu terkejut melihatnya.
"Ada apa ini? Kok senang sekali kelihatannya?"
"Ayo tebak, Bu?" pinta Karin sembari bergelayut manja di bahu ibu. Senyum manis tak lepas dari bibirnya.
"Wah, apa, ya? Nilai kamu 100? Atau tadi di sekolah ada bagi-bagi makanan, ya?" canda ibu.
"Ah, Ibu! Bukan itu, Bu. Ayo tebak lagi?"