Melihat kondisi yang tak lagi kondusif, bapak Kepala Sekolah langsung mengimbau bahwa hari ini jam pelajaran hanya dilakukan setengah hari saja.
*
Karin memeluk Ibu yang sudah menunggunya di teras rumah. Tangisnya kembali pecah. Ibu membiarkan Karin menangis dalam dekapannya sampai puas.
"Pak Sakim keluar dari sekolah, Bu. Aku kehilangan banget." Karin mulai bercerita dengan sesenggukan.
"Iya, Rin. Ibu sudah dengar. Kemarin Pak Sakim sudah telepon Ibu. Tapi Ibu nggak mau cerita, karena Ibu mau Karin tahu secara langsung dari Pak Sakim. Jangan sedih ya, Sayang. Kita masih bisa kok main-main ke rumahnya. Ibu kenal baik sama istrinya."
"Tadi Pak Sakim bilang, Pak Sakim lagi mengejar mimpinya, memangnya nggak bisa mengejar mimpi di sekolah ini?" tanya Karin, matanya makin sembab karena tangisnya tak kunjung reda.
"Karin, semua orang berbeda cara dalam mengejar mimpinya, dan kita nggak bisa mengatur itu. Kalau Karin dan teman-teman sayang sama Pak Sakim, beri kesempatan Pak Sakim untuk mengejar mimpinya dan menjadikannya nyata."
Karin bergeming, berusaha untuk mencerna kata-kata ibu. Walau masih ada sesak yang terasa di dada, namun perlahan Karin bisa sedikit lebih tenang.
*
Walau sudah berhasil menenangkan hati Karina, namun ibu memiliki sedikit kekhawatiran. Ibu takut jika semangat belajar Karina menurun. Hal itu tentunya akan mempengaruhi nilai-nilainya di sekolah. Pak Sakim cukup memberikan banyak kontribusi pada pola belajar Karin. Pelajaran Matematika yang sempat tak disukai oleh Karin, kini menjadi pelajaran favoritnya sejak diajar oleh Pak Sakim.
Sampai pada suatu hari, Ibu menghubungi Ibu Nurul, wali kelas pengganti Pak Sakim. Ibu berencana untuk menanyakan bagaimana nilai-nilai Karin sepeninggal Pak Sakim. Namun, ternyata apa yang ditakutkan oleh ibu tidak terbukti. Karin tetap bisa mempertahankan nilai-nilainya. Hal yang membuat ibu merasa sangat bangga.