Mohon tunggu...
Ajeng Leodita Anggarani
Ajeng Leodita Anggarani Mohon Tunggu... Lainnya - Karyawan

Belajar untuk menulis. Menulis untuk belajar.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Mimpi Mulia Pak Guru

6 November 2024   16:54 Diperbarui: 6 November 2024   17:11 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar:  id.pngtree.com

Karina berdiri di depan cermin, seperti biasa, sebelum berangkat sekolah ia selalu memastikan seragam yang ia kenakan sudah rapi dan lengkap dengan segala atributnya. Tak lupa, rambutnya yang panjang dikepang dua dengan warna ikat rambut yang senada dengan rok seragam sekolahnya.

Aroma roti bakar isi coklat dan susu sapi hangat sudah menguar dari meja makan. Ibu selalu menyiapkan sarapan untuk menambah energi yang bisa menunjang aktivitas Karina sepanjang hari. Tak hanya itu, waktu sarapan adalah kesempatan untuk keluarga Karina berbincang sebelum memulai rutinitas masing-masing.

"Karin, sudah cek buku-buku untuk hari ini? PR sudah dikerjakan? Jangan lupa topinya, hari ini jadwal upacara."

"Sudah, Bu. Karin ingat pesan Ibu, semua harus disiapkan supaya tidak ada yang tertinggal. PR juga sudah Karin kerjakan."

"Anak pintar. Ya, sudah, habiskan roti dan susunya. Sepedanya nanti Ibu yang siapkan di depan."

"Bu, Karin mau cerita," tiba-tiba nada suara Karin terdengar agak serius.

"Ada apa, Rin?"

"Ada dua teman sekelas Karin yang harus putus sekolah, dia anak yatim piatu. Kasihan ya, Bu?"

Ibu mengusap kepala Karin dengan lembut. Ibu mengerti betul perasaan anaknya. Kehilangan teman dengan alasan apapun pastilah menyedihkan. Namun, Ibu tidak bisa membiarkan Karin sedih berlarut-larut. Ibu berjanji sepulang sekolah nanti obrolan ini bisa mereka lanjutkan.

*

 Lapangan sekolah sudah ramai. Para siswa dan siswi juga guru-guru sudah bersiap untuk melaksanakan upacara bendera di hari Senin pagi ini. Setelah meletakkan tas di kelas, Karina langsung berbaur bersama yang lain.

Urutan upacara dilakukan dengan tertib dan khidmat. Murid-murid sangat patuh pada aturan bahwa upacara pengibaran bendera harus dilakukan dengan sungguh-sungguh. Karena upacara bendera merupakan cara untuk menumbuhkan rasa nasionalisme semua rakyat Indonesia.

Tiba lah pada susunan acara terakhir, setelah laporan pemimpin upacara kepada Pembina upacara, ada hal yang sedikit berbeda dari biasanya. Kepala Sekolah memberikan informasi bahwa akan ada pengumuman penting yang akan disampaikan.

Suasana seketika menjadi tegang. Murid-murid saling berbisik, mencoba menerka pengumuman apa yang akan mereka dengar.

Pak Sakim, wali kelas Karina di kelas 4B, maju menuju podium. Karina dan barisan teman-temannya semakin bingung. Rezi sebagai ketua kelas juga pemimpin barisan 4B memberikan kode agar teman-temannya tidak bisik-bisik sehingga menimbulkan suara yang mengganggu.

Pak Sakim mengawali pengumuman itu dengan salam.

"Assalamualaikum warrohmatulahi, wabarakatuh." Semangat pagi, Bapak dan Ibu Guru yang saya hormati, selamat pagi untuk seluruh anak-anakku tersayang."

"Wa'alaikumsalam warrohamtulahi wabaraktuh." Murid-murid dan para guru yang lain menjawab serempak.

"Pertama-tama Saya ucapkan alhamdulillah kita semua masih diberikan kesempatan untuk berkumpul di pagi yang cerah ini. Saya sangat bangga pada anak-anak didik yang sangat tertib sepanjang upacara ini berlangsung. Tapi ada hal yang membuat saya harus menyampaikan sesuatu. Mungkin ini pagi terakhir saya bisa membersamai seluruh personil di SDN 03 Jati Indah."

Pak Sakim nampak menarik napas panjang sebelum melanjutkan lagi kalimatnya. Wajahnya memerah seakan menahan tangis. Lapangan upacara seketika hening seperti tak ada ativitas apa -apa di sana. Semua menunggu Pak Sakim melanjutkan kalimatnya.

"Anak-anak, Bapak ijin undur diri dari sekolah kita yang tercinta ini. Bukan Bapak tidak menyayangi kalian tapi jika ada yang mengingat kata-kata Bapak, bahwa kita semua harus punya mimpi, dan saat ini Bapak sedang mengejar mimpi itu. Bapak harap kalian tetap rajin belajar. Ayah dan Ibu kalian bersusah payah membiayai kalian sekolah agar kelak kalian bisa hidup layak dan membantu banyak orang. Bapak mohon dibukakan pintu maaf jika selama mengajar di sini, ada hal-hal yang tidak berkenan di hati kalian."

Tak disangka, setelah Pak Sakim menutup kalimatnya dengan salam, murid-murid berhamburan keluar barisan dan memeluknya. Air mata tumpah ruah di pagi yang seharusnya menjadi pembuka hari. Tak terkecuali Karina, yang masih berusaha memastikan bahwa apa yang didengarnya adalah mimpi. Tangisnya tak lagi tertahankan.

Melihat kondisi yang tak lagi kondusif, bapak Kepala Sekolah langsung mengimbau bahwa hari ini jam pelajaran hanya dilakukan setengah hari saja.

*

Karin memeluk Ibu yang sudah menunggunya di teras rumah. Tangisnya kembali pecah. Ibu membiarkan Karin menangis dalam dekapannya sampai puas.

"Pak Sakim keluar dari sekolah, Bu. Aku kehilangan banget." Karin mulai bercerita dengan sesenggukan.

"Iya, Rin. Ibu sudah dengar. Kemarin Pak Sakim sudah telepon Ibu. Tapi Ibu nggak mau cerita, karena Ibu mau Karin tahu secara langsung dari Pak Sakim. Jangan sedih ya, Sayang. Kita masih bisa kok main-main ke rumahnya. Ibu kenal baik sama istrinya."

"Tadi Pak Sakim bilang, Pak Sakim lagi mengejar mimpinya, memangnya nggak bisa mengejar mimpi di sekolah ini?" tanya Karin, matanya makin sembab karena tangisnya tak kunjung reda.

"Karin, semua orang berbeda cara dalam mengejar mimpinya, dan kita nggak bisa mengatur itu. Kalau Karin dan teman-teman sayang sama Pak Sakim, beri kesempatan Pak Sakim untuk mengejar mimpinya dan menjadikannya nyata."

Karin bergeming, berusaha untuk mencerna kata-kata ibu. Walau masih ada sesak yang terasa di dada, namun perlahan Karin bisa sedikit lebih tenang.

*

Walau sudah berhasil menenangkan hati Karina, namun ibu memiliki sedikit kekhawatiran. Ibu takut jika semangat belajar Karina menurun. Hal itu tentunya akan mempengaruhi nilai-nilainya di sekolah. Pak Sakim cukup memberikan banyak kontribusi pada pola belajar Karin. Pelajaran Matematika yang sempat tak disukai oleh Karin, kini menjadi pelajaran favoritnya sejak diajar oleh Pak Sakim.

Sampai pada suatu hari, Ibu menghubungi Ibu Nurul, wali kelas pengganti Pak Sakim. Ibu berencana untuk menanyakan bagaimana nilai-nilai Karin sepeninggal Pak Sakim. Namun, ternyata apa yang ditakutkan oleh ibu tidak terbukti. Karin tetap bisa mempertahankan nilai-nilainya. Hal yang membuat ibu merasa sangat bangga.

"Karin, ibu mau minta maaf," ujar ibu ketika keduanya bersantai di ruang keluarga.

"Maaf kenapa, Bu?" tanya Karin dengan ekspresi wajah bingung.

"Ibu sempat mengira kalau setelah Pak Sakim pindah, semangat belajar kamu jadi menurun. Ibu khawatir, Sayang. Tapi Bu Nurul bilang, Karin tetap hebat. Nilai-nilai Karin juga nggak ada yang menurun. Karina hebat, ibu bangga sama kamu, Nak."

"Bu, Pak Sakim selalu bilang, kalau kita mencintai masa depan kita, kelak kita akan mencintai ilmu yang kita dapatkan. Kalau murid bisa menyayangi gurunya itu adalah hadiah. Jadi, nggak ada alasan buatku untuk jadi malas belajar. Aku mau nanti bukan hanya Ibu dan Ayah yang bangga sama Karin, tapi Pak Sakim juga."

Mata ibu berkaca-kaca. Ia tak menyangka Karin begitu hebat untuk menghadapi kesedihannya yang lalu. Bukan hanya ibu, sekolah dan guru-gurunya pun ikut membentuk pribadi Karin menjadi sehebat ini.

*

Setahun berlalu, Karina pulang dari sekolah dengan wajah yang sangat ceria, ibu terkejut melihatnya.

"Ada apa ini? Kok senang sekali kelihatannya?"

"Ayo tebak, Bu?" pinta Karin sembari bergelayut manja di bahu ibu. Senyum manis tak lepas dari bibirnya.

"Wah, apa, ya? Nilai kamu 100? Atau tadi di sekolah ada bagi-bagi makanan, ya?" canda ibu.

"Ah, Ibu! Bukan itu, Bu. Ayo tebak lagi?"

"Ibu nyerah, deh. Habis senyum kamu mencurigakan," ujar ibu dengan tawa meledek.

"Ibu ingat teman-temanku yang sempat putus sekolah?"

"Iya, si Andi sama Bagas, kan? Kenapa mereka, Rin?"

"Hari ini mereka masuk sekolah lagi, Bu. Karin senang banget. Walaupun nggak sekelas, karena mereka harus mengulang di kelas 4. Tapi mereka pasti tetap semangat kan ya, Bu? Karena sekolah itu kan penting."

Ibu mencubit pipi Karina dengan gemas. Gaya bicara anak kelas 5 SD itu sudah mirip dengan orang dewasa.

"Tapi ada kabar lain lagi, Bu." tambah Karina.

Wajah ibu nampak penasaran.

"Tadi Bagas cerita, bahwa selama mereka nggak sekolah, Pak Sakim meminta mereka datang ke rumahnya supaya mereka tetap belajar. Dan biaya mereka sekolah sekarang ini dibiayai Pak Sakim, karena sekarang Pak Sakim mengajar di sekolah yang gajinya besar. Jadi dia bisa membiayai Bagas dan Andi." lanjut Karin.

"Wah, luar biasa. Keren sekali Pak guru kesayangannya Karina."

"Karin jadi merasa salah, Bu. Karin sempat jahat sama Pak Sakim. Karin kira Pak Sakim memang mau cari gaji besar aja. Karin nggak tahu kalau mimpinya Pak Sakim semulia ini."

"Ibu sudah pernah bilang kan? Cara mengejar mimpi dan cita-cita akan berbeda pada masing-masing orang. Tugas kita hanya mendukungnya. Ya, sudah. Untuk merayakan kebahagiaan ini, minggu depan kita undang teman-teman Karin, termasuk Bagas dan Andi untuk datang ke rumah. Pak Sakim juga kita undang. Bagimana?"

 "Terima kasih, Ibu."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun