Para keturunan Tom Campbell selalu berkumpul di hari ke-7 setelah perayaan kemerdekaan. Mendiang Tom Campbell adalah seorang pejuang. Anak, cucu, cicit, atau apapun sebutan generasi selanjutnya harus hadir di acara itu, sebagai bukti bahwa perjuangan kakek mereka akan selalu diingat sepanjang masa.
Bonnie Campbell, gadis bermata biru dengan rambut potongan bob yang tak berubah selama sepuluh tahun belakangan itu tak punya pilihan lain. Sesungguhnya kedatangannya adalah sebuah keterpaksaan. Baginya, hal yang paling memuakkan adalah ketika kau berada di usia layak menikah namun harus datang ke acara keluarga dengan membawa status lajang. Sudah menjadi harga mati bahwa kau bukan datang sebagai sanak saudara yang dirindukan, melainkan hanya menjadi korban pertanyaan memuakkan dari tahun ke tahun, "Kapan menikah? Ingat umurmu."
Bonnie tak pernah menutup diri untuk menerima anugerah Tuhan yang banyak diidam-idamkan para gadis muda seusianya, jatuh cinta. Ia pernah merasakan perasaan istimewa itu. Ya, pernah. Sampai akhirnya gadis dengan warna mata biru itu menyadari bahwa cinta hanya salah satu jenis musim saja.
Setelah berjam-jam bergumul dengan para sepupu dan pasangan mereka juga anak-anaknya, Bonnie sedikit lega, pesta sudah selesai. Masing-masing berpamitan pulang. Saling peluk dan tak lupa meminta Bonnie untuk tak lagi datang sendiri di pertemuan keluarga Campbell tahun depan.
Sosok Catriona "Cathy" Campbell, sepupu paling cantik di keluarga mereka tiba-tiba menyodorkan sesuatu. Sebuah amplop berwarna merah muda bertuliskan Motu Alofa. Bonnie memutar matanya, rasa malas mendekapnya erat.
"Aku tak perlu ini!" Bonnie setengah melempar amplop itu ke meja.
Catriona mengambilnya kemudian menyodorkannya kembali untuk kedua kali.
"Tidak terlalu buruk untuk mencoba, kau sudah lama sendiri," mata Catriona menatap lekat sepupunya yang introvert itu.
"Jika kau bisa bertemu dengan Edric di sana, itu hanya sebuah kebetulan saja. Jodohku akan datang di waktu yang tepat, tak perlu aku mencarinya."
"Aku sudah meminta ijin pada Edric untuk menemanimu ke sana. Suamiku akan menjaga anak kembar kami. Lusa kita akan berangkat."
Bonnie tak bisa lagi berkata-kata. Benar, dia memang sudah lama sendiri, terutama setelah menjadi yatim piatu, ia hanya menghabiskan waktu untuk bekerja tanpa tahu apa tujuan hidup selanjutnya.
*
Motu Alofa adalah sebuah tempat keramat bagi masyarakat mereka. Di sana, para lajang bisa bertemu dengan cinta pertama yang sempat hilang kemudian mengubah statusnya menjadi jodoh. Akan ada tanggal di bulan tertentu yang dianjurkan oleh seorang guru kunci untuk mereka yang datang dengan niat menemukan jodoh. Tak jarang, kau akan menemukan banyak orang yang sudah dikenali sebelumnya dan sedang sama-sama mencoba peruntungan.
Hari itu pun tiba. Bonnie dan Catriona sudah sampai di sebuah pulau yang sangat jauh dari pemukiman warga. Udara di sana sejuk, bahkan digadang-gadang kadar oksigen di tempat itu lebih tinggi dari belahan dunia manapun. Motu Alofa disebut sebagai tempat pertemuan Pangeran Faelwen dan Putri Anya, dua orang yang pernah jatuh cinta ketika usia mereka belum genap 10 tahun. Sebelas tahun kemudian, Pangeran Faelwen pergi ke hutan, berniat ingin bunuh diri karena putus asa. Bertahun-tahun ia mencari Putri Anya yang diasingkan oleh keluarganya entah di mana karena tak kunjung mau menikah dengan pilihan ayahnya. Namun, tanpa disangka, sang Pangeran justru menemukan pujaan hatinya di pulau itu, yang kemudian diberi nama Motu Alofa yang berarti Pulau Cinta.
*
Bonnie tak menyangka, di pulau itu ia menemukan ratusan orang yang kurang beruntung seperti dirinya. Ekspresi mereka semua hampir sama, putus asa.
"Semenyedihkan inikah urusan percintaan mereka?" Bonnie menggerutu. Cathy menyikut lengan Bonnie dan memastikan tak ada yang mendengar suara gadis lajang itu. Â
"Asal kau tahu, ada rahasia besar yang tak kau ketahui tentang kedua orang tuamu, Bon." Cathy berbisik.
"Jangan bilang kalau mereka juga bertemu di tempat aneh ini!"
Cathy menutup mulutnya menahan tawa. Bonnie menarik napas panjang kemudian mengembuskannya dengan cepat. Benar-benar kejutan bahwa ia terlahir dari sepasang kekasih yang pernah putus asa karena cinta.
Tiba-tiba Bonnie memicingkan matanya lalu memasang kacamatanya yang sejak tadi tersemat di kepala. Rasanya ia melihat sosok pria yang sudah ia kenal sebelumnya sedang berdiri di barisan para lajang yang akan memulai ritual berdoa di depan patung simbol Pangeran Faelwen dan Putri Anya.
"Cat, coba kau lihat pria berkemeja biru muda itu," tanya Bonnie.Â
Cathy mengikuti ekor mata sepupunya, "Dia? Ah, siapa namanya? Tapi aku benar-benar mengingat wajahnya."
"Neil." balas Bonnie dengan suara lemah.Â
Seketika ingatannya kembali pada kisah cinta mereka yang hanya terjadi beberapa bulan saja namun sempat menorehkan trauma. Neil bukan pria yang ia inginkan untuk menjadi pasangan, tapi jika Tuhan sudah mengatur jodoh itu, manusia bisa apa? Tapi, kenapa Neil juga datang kemari? Apakah ia masih sedingin dulu? Apa ia masih mengutamakan pekerjaan dari pada kekasihnya? Apa tak ada perempuan lain setelah aku yang mau dicintai laki-laki kaku itu? Sejumlah pertanyaan muncul di kepala Bonnie. Namun ada ketakutan yang tak bisa dipungkiri, ia takut jika Neil mengetahui keberadaannya di sini. Pasti pria itu terbahak sekencang-kencangnya, mempermalukan Bonnie yang dulu sempat meninggalkannya yang akhirnya mencari jodoh di tempat fenomenal ini.
Cathy menyadari sepupunya sedang melamun, pandangan mata Bonnie seketika kosong. "Tak usah memikirkan mantan kekasihmu itu, mungkin dia datang bukan untukmu, bisa jadi ada nama lain yang ia inginkan."
Seketika Bonnie tersadar dari lamunan. Kemudian mengangguk pelan, menepis satu persatu pertanyaan juga ketakutan dalam pikirannya.
Cathy meminta Bonnie kembali fokus pada tujuan mereka dan mengikuti urutan ritual yang diatur oleh sang juru kunci. Pejamkan mata dan berdoa seraya menyebut nama pria yang diinginkan. Entah, saat ini hanya nama Neil yang muncul di momen ini.
Bonnie menaiki anak tangga sambil membawa lilin lalu berjalan pelan dan berhenti tepat di depan patung simbol Pangeran Faelwen dan Putri Anya. Mengambil posisi bersimpuh, kemudian tepekur untuk beberapa saat. Perempuan 28 tahun itu berusaha mengkhidmadkan diri. Berupaya membayangkan wajah-wajah pria menarik yang pernah dikenalnya, namun seketika nama-nama mereka raib dari ingatan. Ia merasakan keningnya keringat dingin, ditambah lagi justru wajah Neil yang tak bisa keluar dari dalam otaknya.
*
Dua tahun berlalu, keluarga besar Campbell kembali berkumpul. Namun kali ini bukan untuk mengenang mendiang Tom Campbell, kakek mereka. Melainkan untuk sebuah perhelatan sederhana, Neil dan Bonnie resmi menikah. Setelah berwarsa-warsa, kediaman Bonnie Campbell didatangi tamu lagi. Motu Alofa makin diyakini sebagai tempat para lajang menemukan jodohnya.
Catriona muncul sebagai tamu terakhir beserta suami dan dua remaja kembarnya. Wajahnya berbinar melihat Neil sudah membersamai sepupu tercintanya.
"Aku ikut bahagia untukmu dan Bonnie, Neil." ucap wanita itu seraya memeluk pasangan suami istri baru itu.
"Terima kasih atas semua skenariomu, Saudariku. Kau memang luar biasa." bisik Bonnie di telinga Cathy.
"Maksudmu?" tanya Cathy dengan wajah bingung.
Bonnie menarik pelan tubuh wanita itu menjauh dari kebisingan. Ia mengeluarkan secarik kertas dari dalam tas pestanya.
"Ah, tidak!" Cathy memekik, menahan ledakan tawanya. Ia ingat betul itu adalah surat yang pernah diberikannya pada Neil sebelum ia mengajak Bonnie ke Motu Alofa.
"Hai, calon iparku. Lama tak mendengar kabarmu. Kuharap kau masih mencintai Bonnie. Setelah tak lagi bersamamu, aku pun tak pernah melihat Bonnie membuka hatinya untuk pria lain lagi. Ku harap kau masih menyimpan cinta kalian. Datanglah ke Motu Alofa dua hari setelah acara keluarga kami. Aku akan membawa Bonnie ke sana. Mungkin bagi Bonnie, Motu Alofa hanya mitos belaka, namun aku yakin kemunculanmu di sana akan kembali membuka memorinya tentangmu. Sampai jumpa di sana. Salam sayang, Catriona Campbell." Â Â
Cathy membaca ulang isi suratnya pada Neil waktu itu, ia tak menyangka Bonnie akan menemukannya tanpa sengaja.
"Puas kau memainkan drama ini?" alis mata Bonnie naik sebelah.
"Bagaimana, ya? Inginnya menyesal, tapi saat melihat wajahmu hari ini, aku justru bangga dengan kecerdasanku saat itu, Bonnie. Seperti katamu, bisa jadi pertemuanku dengan Edric di Motu Alofa adalah sebuah kebetulan sampai akhirnya kami menikah, begitu juga dengan kalian."
Bonnie tak dapat lagi menghindar ketika ucapannya beberapa tahun lalu dikembalikan lagi untuknya. Matanya mulai basah namun hatinya begitu hangat dan bahagia. Motu Alofa bisa jadi hanya sebagai perantara. Bisa juga memang punya daya magis yang luar biasa. Namun baginya, bagaimana pun caranya bertemu lagi dengan Neil, semua terasa indah pada waktunya.
Bekasi, 15 September 2024
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H