"Ngamen, Dir. Kalau nggak ngamen ini hari gua mau makan apa? Tapi mau balik cepet. Kelasnya Boni tadi menang futsal, itung-itung sekoteng jadi hadiah buat dia,"
"Anak hebat. Loe ngga pengen beliin dia apaan gitu? Masa sih cuma dikasih sekoteng?"
"Ya mampunya ini, lagian kan dia yang mau,"
Tak sampai 5 menit, dua bungkus sekoteng disodorkan Haidir. Maya mengeluarkan selembar uang pecahan sepuluh ribu dan dua lembar pecahan lima ribu dan menyodorkan pada Haidir. Dengan cepat pria itu menolak uang dari Maya.
"Loe jualan, Dir. Bukan lagi nyumbang anak yatim, kan?" Maya mulai sebal dengan sikap Haidir yang selalu begini.
Alih-alih menjawab pertanyaan Maya, Haidir malah merogoh kantong celananya dan mengeluarkan 4 lembar uang lima puluh ribuan.
"Beliin Boni hadiah yang dia mau, tolong jangan ditolak."
Maya menatap mata Haidir, mencoba menemukan ketulusan di sana. Perempuan itu pun menunduk, berusaha menutupi bulir bening yang menetes tiba-tiba.
"Kenapa lo baik banget sama gue dan Boni, Dir?"
Kali ini Haidir tak bisa menjawabnya. Seakan ada benang yang menjahit bibirnya. Haidir mendekati Maya. Mengangkat wajah perempuan itu yang masih tertunduk dan menghapus air matanya dengan lembut.
"Jangan nangis lagi, May. Loe layak dapat semua kebaikan, dari siapapun itu. Satu lagi, jangan bilang kalau Boni anak yatim, ya?"