Maya mengangguk, tak sulit baginya membawakan pesanan anaknya. Tanpa diminta, Haidir selalu menawarkan barang dagangannya secara cuma-cuma.
Boni makan dengan lahap, seakan nasi uduk adalah menu yang jarang ia santap. Padahal besok ia akan kembali disuguhi menu yang sama.
*
Pukul lima sore, Maya baru sampai di pasar. Bergegas melapisi hampir seluruh tubuhnya dengan cat warna perak. Menjadi manusia silver adalah satu-satunya pilihan, di tengah gempuran pekerjaan yang hanya menerima gelar sarjana. Mak Munah, tukang bumbu giling, bersiap untuk pulang.
"Kok sore banget, May?"
"Tadi Boni ada lomba futsal di sekolahnya, Mak. Maya nunggu sampai dia pulang. Dari pagi udah yakin banget menang, alhamdulillah keturutan," jawab Maya yang masih memoles wajahnya, bagian terakhir yang diwarnai cat perak itu.
"Itu anak beruntung banget, biar nggak punya bapak, tapi punya ibu kayak loe. Sayang banget sama anak."Â
Maya terdiam sejenak. Ia tak menyangka masih ada orang yang menganggap Boni sebagai anak yang beruntung, padahal di matanya, jauh dari itu. Boni tak seberuntung anak lain. Boni seharusnya mendapatkan yang lebih dari ini. Boni seharusnya tidak dilahirkan dengan status anak tanpa bapak.
"Malah bengong, Mak pulang dulu ya, May. Tas lu masukkin aja di kolong," Pamit Mak Munah.
Maya hanya melempar senyum kecut pada wanita tua itu. Mak Munah adalah teman baik ibunya sebelum meninggal dunia karena depresi setelah mengetahui Maya hamil tanpa tahu siapa laki-laki yang sudah menyetubuhinya.
*