Mulan duduk merenung di depan meja makan. Hanya ada nasi putih dingin yang tersedia untuk makan siang. Matanya berair, hampir menangis, namun buru-buru ia seka setelah melihat Ariel muncul dari kamar tidur mereka.
"Nangis lagi? Mau sampai kapan? Pandemi ini jadi masalah buat semua orang, Ma. Jadi, bukan cuma kita yang punya masalah kayak gini. Harusnya kamu memang nggak menikah sama orang kere kayak saya, harusnya kamu kejar mantan-mantanmu yang tajir melintir itu."
Mulan ingin menjadi tuli, ia bosan mendengar kalimat Ariel yang itu-itu saja selama setahun belakangan. Ariel seakan lupa, bahwa Mulan bukan berasal dari keturunan orang susah. Menikah dengan Ariel adalah sebuah ujian besar, namun ia masih berusaha sabar karena cintanya yang teramat besar. Tapi pandemi ini menimbulkan penyesalan. Jika saja dia menikah dengan orang berada seperti harapan kedua orang tua, mungkin mereka masih punya uang simpanan kala perekonomian remuk redam seperti ini.
"Aku mau ke resto, ya?" ujar Mulan tiba-tiba.
"Ngapain? Nanti cuma nambahin pikiran kamu. Terakhir ke sana dua minggu lalu saya sudah beres-beres dibantu si Dani. Kalau kamu ke sana ,terus ada Dani, nanti dia nagih gajinya yang terakhir, saya masih belum ada uang," balas Ariel.
"Nggak apa-apa, nanti aku ngomong sama dia. Aku bosan di rumah."
"Ya, sudah. Mau diantar?"
Mulan menggeleng, ia memang ingin pergi sendirian ke restoran mereka yang saat ini sudah tutup karena biaya operasional yang membengkak sementara tak ada pemasukan. Mungkin Mulan ingin melanjutkan tangis yang tertahan tadi. Ia tak akan bisa melakukannya jika Ariel ada di sebelahnya.
*
Dada perempuan bertubuh mungil itu nyeri melihat gerbang resto yang masih tertutup rapat di jam 2 siang ini. Biasanya sudah banyak mobil dan motor pelanggan dan karyawan yang terparkir di halamannya. Tapi pemandangan siang ini begitu mengenaskan. Tanaman-tanaman hijau yang selalu terawat kini mengering. Daun-daun dari pohon manga yang rindang gugur berserakan di mana-mana. Plang resto bertuliskan Dapoer Teh Mulan dipenuhi debu.
Mulan mengeluarkan kunci dari dalam tas, memutar anak kunci itu dan masuk ke bagian dalam restoran. Ruangan dalam resto terasa pengap. Meja dan kursi disusun beberapa tingkat di pojok ruang inti. Mulan berjalan ke ruangan kecil samping gudang, itu kantornya. Perempuan itu selalu berada di sana untuk memeriksa laporan keuangan dan bahan makanan apa yang harus di-restock karena habis.
Mulan duduk, ruangan ini terasa sangat panas tanpa AC. Namun sebulan lalu semua AC di resto ini dijual untuk menutupi kebutuhan hidup mereka. Perempuan itu lalu menarik salah satu laci dan membuka sebuah buku kas besar. Mengamati kolom debet dan kredit yang main lama makin timpang angkanya yang menunjukkan mereka merugi sangat besar. Air matanya jatuh seketika, tangisnya pun pecah pada akhirnya. Ia sesenggukan, menyesali semua yang terjadi. Seharusnya tidak begini, seharusnya tidak begitu. Seharusnya ..., seharusnya ..., berulang kali Mulan mengutuk diri.
Tiba-tiba ada yang mengetuk pintu. Mulan terkejut. Ia belum memberi respons, menunggu sampai ada suara dari luar sana.
"Bu Mulan, ini Dani, Bu. Boleh masuk?"
Mulan dengan cepat mengambil tissue dari dalam tasnya, menyeka air mata yang sudah banjir di pipi.
"Masuk, Dan." balasnya parau.
Pria berusia 21 tahun itu muncul dari balik pintu. Wajahnya menunjukkan kekhawatiran. Ia pun mematung, tak berani mendekati meja pimpinannya. Dani mengenakan batik seragam resto lengkap dengan name tag bertuliskan Ahmad Dani -- Supervisor, yang tersemat di dada. Rambutnya disisir rapi mengkilap, sama mengkilapnya dengan sepatu pantofel jatah karyawan yang selalu dibelikan Mulan tiap tahun.
"Kamu mau ngapain, Dan?" Mulan memandang Dani dengan wajah bingung.
"Mau ke sini, Bu. Kok mau ke mana? Ibu nggak apa-apa?"
"Tahu dari mana saya di sini?"
"Dari anak-anak dapur, Bu. Katanya Ibu nangis, suaranya tembus sampai keluar ruangan."
"Anak dapur? Kamu jangan ngeledek saya ya, Dan. Anak dapur apa, sih?" tanya Mulan sedikit menahan emosi.
"Yang pada di dapur, Bu. Hari ini kan ada reservasi dari teman Ibu untuk reuni 25 pax, si Piyu bolak balik ke gudang untuk ambil stok, dia dengar Ibu nangis, terus cerita ke Mbak Tantri. Mbak Tantri ngomong ke saya."
Mulan merasa Dani terlalu kelewatan meledeknya. Perempuan itu bangkit dari duduk dan menarik tangan pria muda itu keluar dari ruang kantornya.
Mulan terkejut, matanya dikerjap beberapa kali seakan tak percaya. Restoran yang tadi seperti bangunan kosong mendadak ramai. Meja dan kursi yang sudah disusun tumpuk di sudut ruangan berubah tertata rapi. Aroma masakan khas Sunda yang menjadi ikon restoran ini menelusup ke indera penciumannya.
"Dan?"
"Ya, Bu? Ibu sakit? Wajah ibu pucat."
"Kita di dalam mimpi ya, Dan?"
"Kita di resto, Bu. Bu Maia sudah datang, saya siapkan meja di smoking area sesuai request Ibu minggu lalu. Tapi kalau Ibu sakit, Ibu di ruangan aja."
Mulan tak menjawabnya, ia malah berjalan buru-buru meninggalkan Dani menuju smoking area. Dari kejauhan, Maia, sahabatnya semasa SMP, melambaikan tangan.
"Lama banget, sih? Gue dari tadi di sini sama tuh emak-emak rempong," Maia menunjuk Pingkan, Meychan, Janeta dan beberapa teman mereka semasa SMP yang sudah datang ke resto milik Mulan ini juga.
Mulan masih belum bisa fokus dengan apa yang ada di depannya saat ini. Semua terasa seperti mimpi. Namun, pelukan hangat Maia tadi membuatnya sadar bahwa ini bukan mimpi, ini nyata. Beberapa kali juga ia mencubit lengannya sendiri, dan ... ya, rasanya sakit.
Mulan menarik napas panjang, pelan-pelan ia mulai bisa berdamai dengan apa yang ada di hadapannya kini, dan ia sangat bersyukur bahwa yang menjadi mimpinya justru saat bersama Ariel di rumah tadi. Tapi, ia benar-benar lupa dengan acara reuni ini. Kapan mereka semua merencanakannya? semakin mencoba mengingat-ingat, semakin kepalanya terasa sakit.
"Lan, tadinya kan kita rencana mau bawa suami, cuma nggak enak sama kamu." Maya membuyarkan lamunan Mulan.
"Loh, kenapa?"
"Ya ... itu ... gimana, ya? Kan kamu sendirian sekarang, jadi kami pikir kayaknya nggak fair lah kalau kita-kita bawa suami. Anyways, kamu nggak kepikiran mau cari suami lagi? Kamu masih muda, lho. Teman-teman alumni kita masih ada yang single, loh."
"Maksud kamu gimana, ya, May? Kok aku sendiri?"
"Duh, kayaknya kamu masih belum move on, ya. Padahal udah setahun ini. Iya, kan, temen-temen?" Maya minta pengakuan dari teman-teman yang lain. Mereka pun mengangguk bersamaan.
"Sumpah aku nggak ngerti kamu ngomong apa." Wajahnya makin menunjukkan kebingungan.
"Aku tahu ini berat, cuma kamu harus bergerak, Lan. Hidup ini hanya sebentar, Say."
Mulan mulai merasa kehilangan keseimbangan tubuh, ucapan demi ucapan Maia berputar dalam kepalanya. Ia meraba saku celananya, berusaha menemukan ponselnya, namun tak ada. Kemudian buru-buru meninggalkan teman-teman masa sekolahnya menuju kantor belakang, ternyata ponselnya tergeletak di atas meja. Ia bergegas menghubungi Ariel.
"Pa, kamu sehat, kan?"
"Iya, kamu kenapa?"
"Ada Maya dan teman-teman SMP-ku dulu buat acara di sini, semacam reuni gitu. Kamu tahu?"
"Reuni apa? Di mana? Maya siapa? Kamu kayak orang linglung begini sih, Ma?"
"Kamu cepat ke resto, ya, Pa. Aku mau kasih tahu ke mereka kalau kamu sehat-sehat aja,"
"Ok, tunggu, jangan kemana-mana,"
Sambungan telepon dimatikan. Mulan merasakan lemas di sekujur tubuhnya. Ia menangis lagi hari ini sambil terus memeriksa jam bertali rantai warna gold yang melingkar di pergelangan tangan seraya berharap Ariel datang lebih cepat.
30 menit berlalu, Mulan tak peduli apakah teman-temannya masih menunggunya di meja itu. Ia hanya ingin cepat bertemu dengan Ariel, suaminya.
Sesaat kemudian terdengar ketukan pintu beberapa kali.
"Masuk, Pa. Mama di sini,"
Pintu terbuka, sayangnya bukan Ariel yang ada di sana. Beberapa orang berseragam putih langsung mendekatinya tanpa permisi lagi.
"Bu Mulan, nggak betah di rumah sakit, ya? Nggak boleh kabur-kaburan terus, Bu. Setahun ini sudah dua kali begini. Yuk, sama saya." Â Mulan melihat Dani dengan pakaian yang berbeda dengan yang dilihatnya tadi saat mereka berbincang. Dhani berpakaian ala dokter, sementara berdiri di belakangnya 4 orang perawat wanita yang wajahnya sangat ia kenali. Maya, Pingkan, Meychan, Janeta tersenyum dingin ke arahnya.
"Tunggu ... tunggu dulu, suami saya sedang dalam perjalanan ke sini, kalian jangan aneh-aneh!"
Sebuah jarum suntik berisi zat antipsikotik menusuk lengan Mulan, pelan-pelan perempuan itu limbung namun terus memanggil nama Ariel, suaminya. Ia masih bisa merasakan tubuhnya diangkat ke brankar dan brankar itu mulai bergerak. Keadaan hening, keriuhan resto sore tadi lenyap, berganti dengan suara roda-roda brankar yang melintas di atas lantai marmer, juga sepatu orang-orang berpakaian putih ini.Â
"Bu Mulan ini depresi mayor, ya, Dok?" tanya Suster Meychan sambil terus mendorong brankar dibantu Pingkan dan Janeta.
"Iya, gejala psikosis." Balas Dokter Ahmad Dani.
"Tadi dia sebut-sebut suaminya akan datang, kasihan ...,"
"Ya, mungkin masih merasa marah sama keadaan. Masalah kesulitan ekonomi dan rasa tidak peka sang suami ini pemicunya. Itulah kenapa, jangan semua disimpan sendiri. Kenapa manusia itu harus hidup sosial ya ini jadi salah satu alasannya. Bu Mulan ini dikenal introvert. Saat stress dia pendam sendiri, kecewa dengan suaminya pun nggak bisa disampaikan. Akhirnya, ya ... dia bunuh suaminya sekalian,"
Perlahan suara-suara mereka menghilang berganti dengan sirene ambulans yang akan membawa tubuh Mulan kembali ke salah satu bangsal rumah sakit jiwa.
Selesai
Bekasi 12 Februari 2023
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H