"Anak dapur? Kamu jangan ngeledek saya ya, Dan. Anak dapur apa, sih?" tanya Mulan sedikit menahan emosi.
"Yang pada di dapur, Bu. Hari ini kan ada reservasi dari teman Ibu untuk reuni 25 pax, si Piyu bolak balik ke gudang untuk ambil stok, dia dengar Ibu nangis, terus cerita ke Mbak Tantri. Mbak Tantri ngomong ke saya."
Mulan merasa Dani terlalu kelewatan meledeknya. Perempuan itu bangkit dari duduk dan menarik tangan pria muda itu keluar dari ruang kantornya.
Mulan terkejut, matanya dikerjap beberapa kali seakan tak percaya. Restoran yang tadi seperti bangunan kosong mendadak ramai. Meja dan kursi yang sudah disusun tumpuk di sudut ruangan berubah tertata rapi. Aroma masakan khas Sunda yang menjadi ikon restoran ini menelusup ke indera penciumannya.
"Dan?"
"Ya, Bu? Ibu sakit? Wajah ibu pucat."
"Kita di dalam mimpi ya, Dan?"
"Kita di resto, Bu. Bu Maia sudah datang, saya siapkan meja di smoking area sesuai request Ibu minggu lalu. Tapi kalau Ibu sakit, Ibu di ruangan aja."
Mulan tak menjawabnya, ia malah berjalan buru-buru meninggalkan Dani menuju smoking area. Dari kejauhan, Maia, sahabatnya semasa SMP, melambaikan tangan.
"Lama banget, sih? Gue dari tadi di sini sama tuh emak-emak rempong," Maia menunjuk Pingkan, Meychan, Janeta dan beberapa teman mereka semasa SMP yang sudah datang ke resto milik Mulan ini juga.
Mulan masih belum bisa fokus dengan apa yang ada di depannya saat ini. Semua terasa seperti mimpi. Namun, pelukan hangat Maia tadi membuatnya sadar bahwa ini bukan mimpi, ini nyata. Beberapa kali juga ia mencubit lengannya sendiri, dan ... ya, rasanya sakit.