Mendengar cerita Unti, pikiranku kembali ke tahun-tahun di mana aku masih menjadi salah satu murid di sana. Aku pun gemar menghabiskan waktu membaca di perpustakaan yang dulu letaknya di halaman belakang sekolah, dekat dengan ruangan yang dijadikan rumah untuk penjaga sekolah dan keluarganya.
Sambil menunggu Dinan pulang, aku masuk ke kamarnya. Kudapati beberapa lembar kertas gambar miliknya tertempel di dinding. Air mataku hampir tumpah saat melihat salah satu gambar berisi tiga orang dalam posisi bergandengan tangan, di atas kepalanya tertulis Ayah, Dinan dan Ibu.
Kadang aku merasa sangat egois karena menolak ajakan rujuk Haydar, mantan suamiku. Aku terlalu mengedepankan egoku sebagai perempuan yang sakit hati.
"Ibuuuuuu ...," suara manja Dinan mengejutkanku.
"Hai, Sayang. Capek, ya?"
Kubiarkan anakku menghamburkan peluknya. Kami berdua memang selalu membutuhkan itu untuk saling menguatkan dan menunjukkan cinta.
*
Pagi itu aku memutuskan untuk menyempatkan diri mengantar Dinan ke sekolah. Setelah menemui wali kelasnya dan berbincang sebentar tentang perkembangan Dinan aku pun langsung menuju halaman belakang, tempat penjaga sekolah lama yang katanya masih diberi kesempatan untuk tinggal di sana.
Namanya pak Daljono. Anak pak Daljono adalah teman sekelasku. Nung, salah satu anak berprestasi di sekolah ini. Kami sangat dekat, selayaknya sahabat. Namun, setelah kepindahanku, tersiar kabar bahwa Nung meninggal dunia. Padahal ia satu-satunya harapan kedua orang tua.
Aku senang saat mengetahui bahwa Pak Daljono dan istrinya masih tinggal di sana.Â
Bu Daljono memelukku erat, bersama tangisnya yang pecah ia berkali-kali mengucapkan kalimat yang membawa nama Nung tepat di telingaku. Dari gelengan kepalanya, Pak Daljono seakan memintaku untuk mengabaikan kata-kata Bu Dal.Â