Mohon tunggu...
Ajeng Leodita Anggarani
Ajeng Leodita Anggarani Mohon Tunggu... Lainnya - Karyawan

Belajar untuk menulis. Menulis untuk belajar.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Hak Istimewa

18 Oktober 2022   17:56 Diperbarui: 18 Oktober 2022   18:04 252
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.gurusiana.id/

Setelah dua bulan lamanya kami semua bergerilnya menyusun serta mengumpulkan dana dari para donatur sekolah, akhirnya acara pentas seni dalam rangka perayaan ulang tahun sekolah  ke-50 pun terlaksana.

Banyak siswa yang mendaftar sebagai pengisi acara. Arjo, salah satunya. Dia kakak kelasku, wajahnya cukup tampan, kulitnya hitam manis, dikenal sebagai anak band dengan kepribadian introvert. Walau dari segi mata pelajaran kepintarannya masuk di level rata-rata, tidak sedikit teman-teman seangkatannya bahkan para adik kelas mencoba mengambil hatinya. Banyak cara mereka lakukan, mulai dari membawakan bekal makanan dari rumah, memberikan gift-gift lucu yang diletakkan di laci meja kelasnya secara diam-diam, sampai ada yang terang-terangan mengajaknya jadian. Saat hari Valentine, bukan Arjo yang sibuk menyiapkan mawar untuk orang terkasih, melainkan ia yang gelagapan menerima banyaknya mawar dan coklat dari para pengemarnya.

Namun sayangnya, gayung tak selalu bersambut, Arjo tidak menanggapi itu semua secara spesial. Ia menerima semua bentuk perhatian itu hanya dengan senyuman dan ucapan terima kasih. Ya, hanya itu.

Sampai akhirnya, aku mendapatkan hak istimewa dibandingkan siswi yang lain. Sebagai salah satu panitia, aku diminta ikut mengisi acara. Kebetulan kemampuanku dalam bidang tarik suara cukup lumayan, dan itu yang membuat Arjo akhirnya mengajakku untuk bergabung dengan band-nya. Apa aku mampu menolak? Jelas tidak. Setelah beberapa minggu latihan bersama, jadwal pentas pun tiba. Banyak pasang mata memandang iri, apa aku peduli? Yang aku rasakan saat itu hanya aku sangat bangga menjadi bagian dari grup band yang cukup hits di sekolahku itu.

Sejak pagi, aku sudah sibuk di sekolah. Menyiapkan ini dan itu bersama panitia lain. Di tengah kesibukan yang kulakukan, aku masih bisa melihat kedatangan Arjo di gerbang sekolah. Ia mengenakan kaos putih dan jeans biru, sesuai dress code band kami untuk pentas malam nanti di acara puncak. Ia tidak terlihat seperti anak kelas III SMA, lebih pantas menyandang gelar anak kuliahan. Setiap kemunculan Arjo, aku pun melihat kasak-kusuk para siswi yang berharap disapa olehnya. Kadang merasa kasihan, kadang pun merasa lucu, sampai kapan mereka akan terus berharap seperti itu. Dan anehnya, aku sama sekali tidak ingin mengikuti trend itu, trend menjadi fans Arjo yang tak pernah ditanggapi oleh yang bersangkutan.

"Kita jadi main jam 7?" tanya Arjo saat jarak kami sudah berdekatan.

"Yes," jawabku singkat setelah membaca tulisan di kertas run down acara yang sempat kuselipkan di kantong belakang celana.

"Kamu bawa kaos putihnya, kan?" tanya Arjo lagi.

"Ada di tas, aku masih repot, nanti saja gantinya kalau sudah dekat jamnya, takut bau keringat."

"Santai, aku ada parfum, pakai aja kalau butuh." Pungkas Arjo kemudian meninggalkanku dan berjalan bersama ketiga temannya menuju ke ruangan pengisi acara.

Seketika darahku berdesir, kalimat singkat itu mungkin yang diimpikan oleh puluhan siswi di sekolah ini keluar dari bibir Arjo. Sepertinya rasa senangku tak bisa ditutupi, beberapa panitia lain meledekku setelah melihat kejadian tadi dan aku kedapatan salah tingkah dibuatnya.

Setelah pentas seni malam itu aku dan Arjo semakin dekat. Mungkin bukan Arjo, melainkan aku yang akhirnya mulai berlaku sama seperti para penggemarnya. Aku mulai memberikan perhatian-perhatian kecil padanya. Rajin menelepon atau mengirimkan pesan singkat hanya untuk menanyakan apa dia sudah makan? Sudah mengerjakan PR? Dan hal remeh lainnya yang terkesan kampungan. Arjo tidak terlihat terganggu dengan sikapku. Tapi kedekatan kami tidak sampai di fase kencan. Aku pernah mengajak Arjo menonton bioskop di Sabtu malam atau hari Minggu. Arjo selalu menolak. Sabtu sepulang sekolah, Arjo harus menemani ibunya terapi ke rumah sakit, sudah setahun belakangan ibunya terkena stroke dan beliau adalah satu-satunya orang tua Arjo yang masih hidup. Sementara di hari Minggu, sejak pagi Arjo dan ibunya mengikuti misa di gereja dan sorenya ia latihan bersama grup band-nya.

Sampai akhirnya tiba di momen kelulusannya, Arjo lulus dengan nilai baik. Aku melihatnya bersama teman-teman seangkatannya sedang melompat kegirangan setelah membaca nama mereka di papan pengumuman.

"Jo, sini deh sebentar," Aku menariknya dari kerumunan itu kemudian langsung menyerahkan bungkusan berpita maroon.

"Wah, makasih, Sel," ucapnya dengan ekspresi berseri-seri.

"Sama-sama, Jo. Oh, ya, terus mau lanjut ke mana?"

"Belum tahu, masih nego sama ibu. Maklum, anak semata wayang," jawabnya diiringi tawa.

"Jo, Minggu ini aku boleh ikut misa sama kamu dan ibumu?"

"Loh, boleh banget, donk. Biasanya kamu gereja mana?"

"Di Santa Clara, kamu?"

"Santo Bartolomeus. Kayaknya lebih dekat gerejaku dari rumahmu,"

Aku mengangguk senang, mungkin ini kesempatan untuk bisa semakin dekat dengannya.

Awalnya kupikir hari Minggu hanya hari ibadah, tapi setelah satu gereja dengan Arjo, hari Minggu adalah hari kencan kudus dengannya. Entah, mungkin aku berdosa karena menyelipkan niat lain saat berangkat ke gereja. Tapi saat berada di dalam sana, aku menepiskan dulu rasa sayangku pada Arjo dan benar-benar menyerahkan diri pada tiap bait-bait doa yang kuucapkan untuk Tuhan.

Satu tahun berjalan, aku semakin nyaman dengan kedekatan kami. Walaupun Arjo belum juga menyatakan bahwa kami punya hubungan spesial alias pacaran tapi dengan sedekat ini saja aku sudah merasa bahagia.

Arjo tidak pernah menyentuhku, sama sekali. Aku merasa sangat dihargai sebagai perempuan. Aku pun sangat menjaga sikapku padanya, tidak berusaha memancing-mancing agar ada kontak fisik di antara kami. Namun sebagai perempuan, terkadang aku memiliki banyak pertanyaan melihat pria semacam Arjo. Bermodalkan rasa penasaran yang tak bisa kutahan, akhirnya kuberanikan diri bertanya padanya.

"Kamu pernah pacaran?"

"Nggak ada status pacaran, cuma dekat aja, kenapa?"

"Nggak apa-apa, cuma tanya aja. Boleh, kan?"

Arjo mengangguk, tatapannya begitu lembut.

"Sama siapa? Anak sekolah kita?"

"Iya, sekelasku, kamu juga tahu orangnya. Tapi, udahlah, nggak pernah ada apa-apa kok sama dia,"

"Jo, kita mungkin pacaran, nggak?"

"Aku nggak mau mendahului takdir, Sel. Mungkin saja."

Aku tak ingin melanjutkan pertanyaan-pertanyaan lain yang sesungguhnya saling beradu untuk diucapkan. Jawaban Arjo sedikit membuatku tenang, artinya ada kesempatan, buatku.

*

Setelah perbincangan hari itu, Arjo menunjukkan sikap yang janggal. Ia sering tidak merespons teleponku. Jika pun diangkat, ia akan bilang sedang sibuk kuliah. Ajakan ke gereja pun selalu ditolaknya, ia mengatakan bahwa sekarang jadwal misa disesuaikan dengan keinginan ibunya yang kerap berubah-ubah tergantung mood-nya.

Sampai akhirnya aku nekad, aku menunggunya dari pagi hingga malam di gereja yang biasa kami datangi, mereka tidak datang ke sana. Aku mulai merasa Arjo memang benar-benar menghindariku, mungkin ia merasa terganggu dengan pertanyaanku tempo hari. Aku coba mengajaknya bertemu, bahkan kubilang untuk yang terakhir kali. Arjo menerimanya.

Sore itu, hari Sabtu.

Aku ingat betul ekpresinya yang sangat berbeda dari biasanya. Aku langsung menyampaikan keresehanku padanya, bagaimana aku merasa kehilangan teman bicara.

"Apakah aku salah jika aku bersikap seperti ini?" tanya Arjo dingin.

"Tidak salah jika aku tahu apa alasannya."

"Aku tahu apa yang kau inginkan, tapi jujur, itu jauh dari bayanganku."


"Soal apa? Pacaran? Jo, kita sudah cukup dekat, apa salah jika aku mempertanyakan soal itu? Aku rasa kau juga menyukaiku,"

"Kau tidak salah, Sel. Aku yang terlalu larut dengan kedekatan ini. Harusnya aku tetap membatasi diri seperti sikapku pada perempuan-perempuan lain. Ini janjiku."

Arjo kemudian berpamitan, tak ada lagi kata-kata yang kudengar darinya. Setelah hari itu aku benar-benar kehilangan sosoknya. Luka? Pasti. Kecewa? Tentu saja. Aku benci ditinggalkan dengan cara semacam ini. Aku bersumpah ini akan jadi patah hati pertama dan terakhirku.

*

Sudah belasan tahun aku meninggalkan gereja Santo Bartolomeus, setelah aku memutuskan untuk tinggal di asrama yang berhasil meleburkan perasaanku pada Arjo. Ternyata bukan dia yang kuinginkan, tetapi sosok istimewa lain yang benar-benar mengundangku menjadi kekasihnya tanpa ada rasa takut dihempaskan apalagi ditinggalkan. Aku tak perlu repot-repot menanyakan kabar, mengingatkan jam makan, dan semua kewajiban selayaknya pasangan yang memadu kasih. Walau tanpa itu semua, aku merasa benar-benar disayangi, dicintai, dimuliakan.

Gereja ini masih sama seperti belasan tahun lalu. Aku masih ingat bangku favoritku bersama Arjo dan ibunya di sisi kanan, baris ke lima dari depan. Aku masih bisa mengingat dengan baik bagaimana aku masuk ke ruang pengakuan dosa dan menangis sejadi-jadinya dan minta didoakan oleh Pastor saat ingin melupakan Arjo dan berangkat ke asrama.

Ya, semua masih terekam dengan baik, namun kali ini, tak ada sesak yang kurasakan. Aku melepaskan semua hal duniawi untuk kekasihku saat ini.

Minggu pagi yang terasa sangat berbeda di Santo Bartolomeus, bukan karena aku menjalani napak tilas perjalanan cintaku di masa lalu melainkan seorang pastor yang tengah berdiri di mimbar membuatku sangat terkesan. Entah ia menyadari keberadaanku atau tidak, yang pasti aku semakin yakin Tuhan benar-benar memberiku hak istimewa. Hak untuk memilih jalan menjadi biarawati dan melihat Pastor Arjo memimpin misa pagi ini.

-Selesai-

Dari Bekasi yang banjirnya tak pernah ingkar janji,

Salam sayang,

Ajeng Leodita

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun