"Aku nggak mau mendahului takdir, Sel. Mungkin saja."
Aku tak ingin melanjutkan pertanyaan-pertanyaan lain yang sesungguhnya saling beradu untuk diucapkan. Jawaban Arjo sedikit membuatku tenang, artinya ada kesempatan, buatku.
*
Setelah perbincangan hari itu, Arjo menunjukkan sikap yang janggal. Ia sering tidak merespons teleponku. Jika pun diangkat, ia akan bilang sedang sibuk kuliah. Ajakan ke gereja pun selalu ditolaknya, ia mengatakan bahwa sekarang jadwal misa disesuaikan dengan keinginan ibunya yang kerap berubah-ubah tergantung mood-nya.
Sampai akhirnya aku nekad, aku menunggunya dari pagi hingga malam di gereja yang biasa kami datangi, mereka tidak datang ke sana. Aku mulai merasa Arjo memang benar-benar menghindariku, mungkin ia merasa terganggu dengan pertanyaanku tempo hari. Aku coba mengajaknya bertemu, bahkan kubilang untuk yang terakhir kali. Arjo menerimanya.
Sore itu, hari Sabtu.
Aku ingat betul ekpresinya yang sangat berbeda dari biasanya. Aku langsung menyampaikan keresehanku padanya, bagaimana aku merasa kehilangan teman bicara.
"Apakah aku salah jika aku bersikap seperti ini?" tanya Arjo dingin.
"Tidak salah jika aku tahu apa alasannya."
"Aku tahu apa yang kau inginkan, tapi jujur, itu jauh dari bayanganku."