Setelah dua bulan lamanya kami semua bergerilnya menyusun serta mengumpulkan dana dari para donatur sekolah, akhirnya acara pentas seni dalam rangka perayaan ulang tahun sekolah  ke-50 pun terlaksana.
Banyak siswa yang mendaftar sebagai pengisi acara. Arjo, salah satunya. Dia kakak kelasku, wajahnya cukup tampan, kulitnya hitam manis, dikenal sebagai anak band dengan kepribadian introvert. Walau dari segi mata pelajaran kepintarannya masuk di level rata-rata, tidak sedikit teman-teman seangkatannya bahkan para adik kelas mencoba mengambil hatinya. Banyak cara mereka lakukan, mulai dari membawakan bekal makanan dari rumah, memberikan gift-gift lucu yang diletakkan di laci meja kelasnya secara diam-diam, sampai ada yang terang-terangan mengajaknya jadian. Saat hari Valentine, bukan Arjo yang sibuk menyiapkan mawar untuk orang terkasih, melainkan ia yang gelagapan menerima banyaknya mawar dan coklat dari para pengemarnya.
Namun sayangnya, gayung tak selalu bersambut, Arjo tidak menanggapi itu semua secara spesial. Ia menerima semua bentuk perhatian itu hanya dengan senyuman dan ucapan terima kasih. Ya, hanya itu.
Sampai akhirnya, aku mendapatkan hak istimewa dibandingkan siswi yang lain. Sebagai salah satu panitia, aku diminta ikut mengisi acara. Kebetulan kemampuanku dalam bidang tarik suara cukup lumayan, dan itu yang membuat Arjo akhirnya mengajakku untuk bergabung dengan band-nya. Apa aku mampu menolak? Jelas tidak. Setelah beberapa minggu latihan bersama, jadwal pentas pun tiba. Banyak pasang mata memandang iri, apa aku peduli? Yang aku rasakan saat itu hanya aku sangat bangga menjadi bagian dari grup band yang cukup hits di sekolahku itu.
Sejak pagi, aku sudah sibuk di sekolah. Menyiapkan ini dan itu bersama panitia lain. Di tengah kesibukan yang kulakukan, aku masih bisa melihat kedatangan Arjo di gerbang sekolah. Ia mengenakan kaos putih dan jeans biru, sesuai dress code band kami untuk pentas malam nanti di acara puncak. Ia tidak terlihat seperti anak kelas III SMA, lebih pantas menyandang gelar anak kuliahan. Setiap kemunculan Arjo, aku pun melihat kasak-kusuk para siswi yang berharap disapa olehnya. Kadang merasa kasihan, kadang pun merasa lucu, sampai kapan mereka akan terus berharap seperti itu. Dan anehnya, aku sama sekali tidak ingin mengikuti trend itu, trend menjadi fans Arjo yang tak pernah ditanggapi oleh yang bersangkutan.
"Kita jadi main jam 7?" tanya Arjo saat jarak kami sudah berdekatan.
"Yes," jawabku singkat setelah membaca tulisan di kertas run down acara yang sempat kuselipkan di kantong belakang celana.
"Kamu bawa kaos putihnya, kan?" tanya Arjo lagi.
"Ada di tas, aku masih repot, nanti saja gantinya kalau sudah dekat jamnya, takut bau keringat."
"Santai, aku ada parfum, pakai aja kalau butuh." Pungkas Arjo kemudian meninggalkanku dan berjalan bersama ketiga temannya menuju ke ruangan pengisi acara.