Seketika darahku berdesir, kalimat singkat itu mungkin yang diimpikan oleh puluhan siswi di sekolah ini keluar dari bibir Arjo. Sepertinya rasa senangku tak bisa ditutupi, beberapa panitia lain meledekku setelah melihat kejadian tadi dan aku kedapatan salah tingkah dibuatnya.
Setelah pentas seni malam itu aku dan Arjo semakin dekat. Mungkin bukan Arjo, melainkan aku yang akhirnya mulai berlaku sama seperti para penggemarnya. Aku mulai memberikan perhatian-perhatian kecil padanya. Rajin menelepon atau mengirimkan pesan singkat hanya untuk menanyakan apa dia sudah makan? Sudah mengerjakan PR? Dan hal remeh lainnya yang terkesan kampungan. Arjo tidak terlihat terganggu dengan sikapku. Tapi kedekatan kami tidak sampai di fase kencan. Aku pernah mengajak Arjo menonton bioskop di Sabtu malam atau hari Minggu. Arjo selalu menolak. Sabtu sepulang sekolah, Arjo harus menemani ibunya terapi ke rumah sakit, sudah setahun belakangan ibunya terkena stroke dan beliau adalah satu-satunya orang tua Arjo yang masih hidup. Sementara di hari Minggu, sejak pagi Arjo dan ibunya mengikuti misa di gereja dan sorenya ia latihan bersama grup band-nya.
Sampai akhirnya tiba di momen kelulusannya, Arjo lulus dengan nilai baik. Aku melihatnya bersama teman-teman seangkatannya sedang melompat kegirangan setelah membaca nama mereka di papan pengumuman.
"Jo, sini deh sebentar," Aku menariknya dari kerumunan itu kemudian langsung menyerahkan bungkusan berpita maroon.
"Wah, makasih, Sel," ucapnya dengan ekspresi berseri-seri.
"Sama-sama, Jo. Oh, ya, terus mau lanjut ke mana?"
"Belum tahu, masih nego sama ibu. Maklum, anak semata wayang," jawabnya diiringi tawa.
"Jo, Minggu ini aku boleh ikut misa sama kamu dan ibumu?"
"Loh, boleh banget, donk. Biasanya kamu gereja mana?"
"Di Santa Clara, kamu?"
"Santo Bartolomeus. Kayaknya lebih dekat gerejaku dari rumahmu,"