Mohon tunggu...
Ajeng Leodita Anggarani
Ajeng Leodita Anggarani Mohon Tunggu... Lainnya - Karyawan

Belajar untuk menulis. Menulis untuk belajar.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Persona Lidya

28 Agustus 2022   20:22 Diperbarui: 28 Agustus 2022   20:24 329
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
PIC : www.wokeeh.com

Pagi yang dipayungi langit sedikit mendung, di sebuah taman berumput hijau. Suara kicau burung terdengar tetap riuh sekali pun suhu udara lebih rendah dari biasanya. 

Beberapa orang berjalan-jalan di taman, ada juga yang memilih duduk-duduk di pinggirnya saja sembari bercerita tentang masalah-masalah mereka, ada pula yang bermain-main dengan benda kegemarannya.

Ibu Erna berkali-kali berucap, "Keluarga sangat mendukung, mereka membiarkan saya menjual asset kami untuk maju ke pemilihan. Saya pasti menang."

Ibu Evi yang berdiri tak jauh dari ibu Erna juga berucap berkali-kali, "Saya kurang cantik, suami saya memilih untuk meniduri sekretarisnya, staff-staff-nya yang lain, juga beberapa pemandu karaoke. Saya cantik sebenarnya, hanya saja saya sudah tua, sudah tidak bisa memenuhi kebutuhan ranjangnya."

Bapak Feri terkekeh sembari mengeluarkan kalimatnya yang itu-itu saja selama 2 tahun belakangan, "Semua mengeluh, menangis, mengutuk nasib. Coba kalian seperti saya. Tenang, walaupun ditipu adik sendiri. Harta saya habis, istri saya pergi, dan anak-anak memutuskan untuk tinggal di luar negeri. Sementara saya memilih untuk di sini, bersama kalian."

Muncul Ayuni, yang paling muda diantara mereka, ia berkata, "Tapi kita semua di sini adalah orang gila." 

Tawa meledak diantara mereka.

Perempuan dengan jas putih kebanggaan mendekati pasien-pasiennya. Lydia namanya. Perempuan muda itu menyapa mereka satu-persatu. 

Melepas senyum tulusnya sebagai seorang dokter jiwa. Tak jarang sebuah pelukan mendarat untuk mereka. Lydia mengajak mereka bicara, baik empat mata atau dalam sebuah forum dimana dia bisa mendengarkan seorang pasien bercerita dan pasien yang lain mendengarkan. 

Sudah hampir 6 tahun Lydia merawat mereka dengan kesungguhan hati. Mengabaikan kehidupan pribadinya, berumah tangga, atau pun memiliki anak.

Lydia lebih suka berada di rumah sakit. Banyak tekanan di dalam rumah. Ibunya berkali-kali tertangkap basah membawa pacarnya yang masih muda bahkan hingga menginap di kediaman mereka. Jika sudah ketahuan, tak ada wajah malu atau pun merasa bersalah dari ibunya. 

Lydia dipaksa menerima ini semua tanpa boleh memberi komentar berlebihan. Sementara ayahnya jarang sekali pulang, mungkin juga sudah memiliki keluarga baru. Rumah tangga kedua orang tuanya sangat tidak sehat, namun masing-masing tidak ada yang menginginkan sebuah perceraian.

Bukan tidak pernah Lydia memiliki seorang kekasih, pernah, dan hampir menikah. Namun, kekasihnya meninggal dalam sebuah kecelakaan. Lydia tak punya lagi kawan bicara. Semua disimpannya rapat-rapat dan mengalihkan semua masalahnya untuk mengurus pasien-pasiennya.

"Pak Feri, boleh saya bertanya?"

"Tanya apa, Mbak Dokter?"

"Sudah berapa lama bapak di sini?"


"Sepertinya 2 tahun, apa saya harus pulang?"

"Tidak, tapi hidup bapak harus berlanjut," jawab Lydia dengan sorot mata memberi semangat.

"Siapa yang akan mengurus saya, Mbak Dokter?"

Lydia mengelus bahu pria yang usianya hampir sama dengan ayahnya. Berusaha menenangkan kekhawatirannya.

"Bu Erna mau pulang?" Lydia melemparkan tanya pada pasiennya yang satu lagi.

"Saya malu, semua asset sudah dijual, keluarga saya juga pastinya malu. Kalo saja dalam pemilihan itu tidak ada kecurangan, pasti saya yang terpilih. Bukan camat perempuan yang centil itu."

"Dan kamu, Ayuni? Apa tidak ingin melanjutkan kuliahmu?"

"Siapa yang mau berteman dan mengajar orang gila seperti saya, Dok?"

Lydia bangkit dari duduknya. Mengakhiri sesi obrolan hari ini. Saatnya semua pasiennya istirahat sambil menunggu jam makan siang. Namun ada seseorang yang belum diberi pertanyaan oleh Lydia. Bu Evi, perempuan paruh baya itu menarik lengan Lydia.

"Dokter Lydia tidak mau bertanya pada saya? Kalau begitu, biarkan saya yang bertanya, boleh?"

"Silakan, Ibu."

"Apa saya cantik?"

"Tentu saja."

"Anda berbohong, kalau saya cantik, suami saya tidak akan tidur dengan banyak wanita di luar sana."


"Ada petikan dari seorang novelis bernama Julie Anne Peters yang saya sepakati selama ini, Bu. bahwa Tidak ada obat anti depresi di dunia ini yang akan mengubah masa lalu. Jadi, bukan lagi mengutuk apa yang pernah terjadi di masa lalu Ibu dan suami. Memaafkan dan lanjutkan jika Ibu masih punya kemauan atau tinggalkan jika Ibu benar-benar tidak bisa bertahan."


"Apa dokter tidak punya masalah seperti kami?" tanya bu Evi lagi.

"Semua orang punya masalah, Bu, termasuk kami para dokter."

Ibu Evi memeluk Lydia erat, airmata Lydia tumpah seketika. Sudah lama ia tak merasakan pelukan sehangat ini terutama dari ibunya.

3 bulan berlalu...

Lydia masih di rumah sakit yang sama. Tidak ada lg jas putih yang ia kenakan, tidak ada senyum pada pasien-pasiennya, apalagi pelukan hangat untuk mereka. Lydia berjalan-jalan di taman sendirian, pandangannya kosong. Entah apa yang ia pikirkan. 

Yang pasti Lydia gagal berdamai dengan konflik dalam keluarganya. Seorang dokter lain mendekatinya, "Dokter Lydia, ayo, istirahat di kamar sambil menunggu jam makan siang."

Bekasi,

28 augustus 2022

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun