Asesmen formatif dilakukan oleh guru di setiap kali pendampingan. Dengan demikian, mereka  bisa mengetahui dengan baik perkembangan kompetensi tersebut yang kerap menjadi momok bagi sekolah. Sedangkan asesmen suamatif dilakukan di akhir semester atau saat menjelang perayaan hari-hari nasional, seperti saat hardiknas (2 Mei), HUT RI (17 Agustus), dan bulan Bahasa (25 November).
Bentuk tagihan untuk mengukur ketercapaian materi yang diajarkan pun bervariatif. Ada secara tertulis, ada secara lisan, ada secara audio visual, dll. Intinya, penilaian yang diberikan berdasarkan kategori, potensi, dan karakter masing-masing peserta didik.
Kedua, membangun mitra dengan pihak luar sekolah. Karena keterbatasan kompetensi, jumlah, dan waktu yang dimiliki oleh para guru, maka sekolah berkolaborasi dengan pihak-pihak di luar sekolah yang memiliki ambisi yang sama untuk meningkatkan kemampuan literasi dari peserta didik.
Untuk itu, kami bekerja sama dengan fakultas Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas St. Paulus Ruteng. Melalui beberapa dosen yang diutus fakultas, para guru dilatih bagiamana menulis ilmiah maupun non-ilmiah. Mengapa duluan guru? Kami berasumsi bahwa bila gurunya sudah mahir maka dengan mudah dalam membimbing anak didiknya.
Selain itu, kepala sekolah mewajibkan para guru, terutama wali kelas, melaporkan secara berkala tentang perkembangan kompetensi literasi anak walinya kepada kedua orang tua atau walinya. Langkah ini penting untuk menyadarkan orang tua/wali murid bahwa ketercapaian kompetensi literasi juga merupakan tanggung jawab orang tua/wali.
Terkahir namun tidak kalah pentingnya adalah SMP-SMP pendukung. Kami menjalin komunikasi yang intens dengan mereka tentang kompetensi literasi dari siswa asal sekolah mereka. Tindakan ini dinilai efektif untuk meminimalisir waktu dan energi yang disediakan bagi siswa yang berada pada zona merah.
Refleksi Akhir
Akhirnya, sebuah masalah yang akar-akarnya diuraikan secara mendetail lalu langkah taktis sebagai solusi yang kontekstual diambil dan dijalankan, maka hasilnya sangat memuaskan. Apalagi dilakukan secara konsisten, terencana, dan tidak bombastis.
Spiritualitas ini sudah kami rasakan. Betapa tidak, jumlah siswa yang berada pada zona merah diawal asesmen kompetensi literasi mengalami penurunan dari bulan ke bulan. Anak-anak pada kategori di atasnya pun semakin percaya diri untuk menyatakan pendapatnya di depan umum, mampu menuangkan pikirannya dalam tulisan, dan tidak malu-malu untuk melamar bidang studi olimpiade sains yang ia minati.
Yang sungguh menggembirakan juga adalah SMP-SMP pendukung pun terinspirasi dari apa yang kami lakukan. Demikian juga respon dari orang tua siswa atau pihak-pihak lain yang sempat mengunjungi sekolah kami. Mereka sangat apresiasif untuk langkah dan model penangan yang kami lakukan.
Tentu keberhasilan ini bukan karena kerja keras seorang kepala sekolah semata. Tetapi karena team work internal sekolah yang kuat, dukungan dari mitra lintas sektor, dan berkembangnya kesadaran dari peserta didik bahwa kompetensi literasi adalah kunci menguasai ilmu-ilmu lain. Bahwa kompetensi literasi yang memedai adalah ciri manusia yang berintelek.***