"saya bersyukur,dia akhirnya mau bicara lagi walaupun harus menunggu satu tahun dulu."
Dan akupun tak kuasa ingin memeluk hangat mama Rinto saat itu juga.
***
Aku masih memegang rangkap tulisanku dan aku masih berdiri persis didepan meja kerja satu rekanku yang menegur tadi. Aku menjadi berfikir lagi untuk menaikkan ini untuk dicetak. Aku takut bukan untuk karirku sendiri. Tapi aku takut ini akan memicu kesalah-pahaman banyak orang. Niat baikku mungkin benar untuk terapi Rinto, tapi apakah ini bijak untuk dia juga.
"tulisanmu ini penuh kontroversi, Fin. Pikirkan baik-baik."
"aku juga tidak yakin pimred akan setuju."
Ungkap rekan kerjaku lagi
Betapa bodoh dan plin-plannya aku sekarang. Aku bingung harus berbuat apa dan keputusan apa yang aku lakukan untuk tulisan yang sudah aku rangkum dengan susah payah ini. Pikiranku kacau sekali. Mungkin inilah satu-satunya kegelisahan yang pernah aku rasakan sebagai jurnalis dari panjangnya perjalanan karir yang sudah aku lewati.
Aku berbalik badan dan duduk kembali dikursi kerjaku,
"maafkan aku,Rinto"
Lalu pipiku basah seketika dengan linangan air mata.