Sekujur tubuhnya menjadi dingin sekali seperti bukan temperatur umumnya manusia. Papa Rinto yang kemudian berada diujung kakinya lalu mama Rinto yang berubah memangku kepalanya merasakan keanehan itu secara langsung dengan perasaan berkecamuk.
"Pa??" tatap bu Mirna pada suaminuya
Tak lama papa Rinto bangkit dan mengambil buku berisikan bacaan doa sesuai permintaan anaknya itu dan kembali pada posisi awalnya diujung kaki Rinto.
"ini, ma!"
"Takut, ma! Takut,pa!"
"MATI AKU! MATI!"
Ucapan yang aneh terus keluar dari Rinto. Itu membuat tangis kedua orangtuanya semakin tak terbendung-pecah membeludak air mata mereka.
Tatapan Rinto menghadap kelangit-langit dan melotot sembari bibirnya yang bergetar-getar. Saat itu menurut keterangan bu Mirna, suhu badan Rinto semakin dingin dan dingin. Ia menyadari bahwa itu tidak biasa dialami anaknya.
Entah apa yang sebetulnya terjadi, namun lambat laun Rinto tersadar sedikit demi sedikit namun tatapannya berubah jadi kosong. Tetapi suhu badan itu sudah berubah mulai hangat. Seingat mamanya bercerita padaku, Ia sempat menitikkan air mata dipipi Rinto. Dia sangat yakin tangisan itulah yang mempunyai pengaruh atas perubahan temperature Rinto.
Lalu hari-hari berikutnya setelah kejadian malam itu, Rinto hanya diam dan termenung terus-menerus. Sampai habis satu tahun, barulah Rinto mulai berani berkata-kata lagi. Trauma itu sangat terlihat menekannya dengan begitu sakit luar biasa.
"sudah dibawa kemana-mana, mba. Ke orang pinter, dokter. Sampai saya tidak tahu lagi harus bagaimana."