Perkenalkan namaku adalah Syafina Dinda Artika Sari, nama yang cukup panjang untuk generasi sekarang ini. Tahun ini aku belum genap berusia dua puluh tahun mungkin mendekati, tapi karirku boleh dikatakan cukup baik untuk remaja dewasa seusiaku.
Aku bekerja pada sebuah majalah terkemuka Ibukota. Entah aku tidak begitu mengingat hal apa yang membuatku jadi berani sekali mengajukan untuk profesi yang saat ini aku jalankan, bahkan dengan tidak adanya pengalaman apapun saat itu. Seiring waktu aku bisa menjawab keraguanku sendiri itu, malah aku menjadi ujung tombak meningkatnya minat pembaca membeli majalah kami hanya karna tulisan-tulisanku yang terkenal ekstrim dan mengandung makna yang kuat.
"kamu yakin,Fin mau bawa ini ke pimred?" tanya seorang rekan kerjaku.
Aku memegang satu rangkap tulisan yang sudah aku cetak yang rencananya akan aku naikkan ke pimpinan redaksi. Tapi sejujurnya aku masih ragu dengan itu. Aku masih ragu apakah ini layak diterbitkan atau malah akan jadi boomerang untuk karirku sendiri. Memang tulisan yang unik dan orisinil adalah yang dicari untuk majalah kami, kurasa dimanapun itu. Namun untuk topik yang aku pilih ini, aku juga jadi berfikir apakah ini terlalu berlebihan dan akan membawa dampak negatif kedepannya.
***
Pemuda bernama Rinto ini begitu antusias saat aku menerima permintaannya untuk menjadikan kisah hidupnya sebagai bagian dari tulisanku yang berikutnya untuk majalah kami. Dia sebetulnya ada kelainan-setidaknya itu cerita yang aku dapat dari warga sekitar. Dari informasi yang aku terima, tidak ada salahnya juga jika aku mendengarkan cerita-ceritanya dulu. Sebab warga bilang, Rinto kadang-kadang waras terkadang ngelantur. Mungkin dengan kehadiranku sebagai pendengarnya bisa menjadi terapi juga buat kesembuhannya yang total.
"iya,silahkan!" ujarku padanya.
Sebelumnya aku sudah berbincang dengan keluarga Rinto terlebih dahulu. Mamanya seorang guru matematika di sekolah menengah atas, sedang papanya bekerja sebagai pegawai di salah satu bank swasta. Melihat latar belakang keluarga ini, tentu bukan masalah ekonomi yang membuat Rinto menjadi hilang kendali atas dirinya sendiri. Itu juga yang membuatku tertarik untuk menggali tentang dirinya lebih dalam, walaupun pada awalnya dia yang meminta itu duluan dariku.
Waktu itu, aku tengah memotret kegiatan warga dikomplek tempat keluarga Rinto tinggal. Ada satu artikel yang aku hendak buat saat itu mengenai keramah-tamahan warga melestarikan lingkungan tempat tinggalnya. Ketika itu, komplek perumahan itu sedang hangatnya diperbincangkan sebagai kawasan yang brilian dalam memberikan nuansa hijau dilahan perkotaan. Seluruh warga di komplek ini kompak menanam pohon-pohon rindang yag berguna untuk penghijauan dan udara segara setidaknya untuk daerah itu saja.
Dan Rinto tiba-tiba menepuk pundakku dan tertarik dengan apa yang aku lakukan dengan kameraku. Ia melihat-lihat caraku mengambil gambar untuk jadi headline ku nanti di majalah. Lalu dengan tidak sedikitpun terlihat kalau dia itu ada kekurangan dalam mentalnya, aku terkesima dengan gaya bicaranya yang penuh dengan pemikiran yang mendalam berbicara kepaku.
"Memang sekarang sulit dibedakan mana yang murni berpolitik dan mana yang mempolitisi politik." terangnya padaku
Sontak saja aku menganga dengan ucapan itu. Alangkah dalamnya kata-kata itu.
Namun belakangan baru aku sadari jika itu keluar dari mulut seorang yang aku sendiri kurang enak menyebutnya sebagai orang dengan sebutan 'sakit jiwa'. Tapi aku tidak punya istilah lain lagi. Mungkin bisa aku haluskan dengan sebutan penderita keterbelakangan mental. Namun pada akhirnya orang akan mengembalikan sebutanku itu dengan pilihan yang pertama.
Saat dia bercerita dengan antusias itu, aku mencoba memandangkan dalam kearah matanya. Betul memang tatapannya ada kekosongan. Tapi sekali lagi tak kutemukan celah cacat dari caranya menyusun kata-kata. Bahkan terdengar sangat diplomatis sekali. Dan kali ini dikelilingi mama papanya dan tentu saja aku, Rinto bukan ingin menceritakan hal berbau politik lagi. Diluar dugaanku kali ini Rinto mulai ngelantur soal pengalamannya yang aku sendiri sedikit ragukan kebenarannya.
"mata saya terbuka, kiri kanan orang minta tolong dengan kencang."
Rinto bercerita sambil kedua tangannya mengepal dan membawa ekspresi takut yang luar biasa
"lalu?" Entah apa yang ada difikiranku saat itu, aku malah benar-benar menjadi tertarik dengan ceritanya
Mulutnya gemetar sejadinya. Tatapan matanya yang kosong kini memerah dan mengeluarkan air. Rinto tiba-tiba saja menangis
"aku tidak sanggup melihatnya. Ada yang ditombak dibagian kelamin. Ada yang lidahnya digunting."
Rinto menutup telinganya, ia menggeleng-geleng kencang. Aku bisa melihat rasa takut yang luar biasa ada pada dirinya saat menceritakan itu.
"hei,Rinto. Tenang!Tenang!"
Kataku seraya menempelkan kedua tanganku dikedua sisi pundaknya.
"ibu ini bagaimana?"
Lalu aku menoleh dan bertanya kepada orangtua Rinto.
Mereka menghampiri Rinto dan mencoba menenangkannya. Mereka memopoh anak sulung mereka itu menuju kamarnya. Aku berdebar-debar melihat itu. Aku cemas bukan main. Dan aku juga tidak tahu harus meresponinya bagaimana lagi. Aku hanya bisa berdiam di posisi dudukku diruang tamu itu.
Tak lama berselang, Ibu Rinto kembali keruang tamu dan menghampiriku,
"maaf ya mba. Rinto memang suka begitu kalau cerita tentang kisah itu."
Ibu separuh baya itu pun menangis saat berkata seperti itu dihadapnku.
Lalu kugenggam kedua tangannya dan kutatap perlahan wajah yang penuh kesedihan. Aku bisa merasakannya.
"Ibu tidak harus minta maaf. Saya yang harusnya minta maaf, kenapa menerima permintaan Rinto bercerita."
Bu Marni-mama Rinto itu menggerakkan kepalanya dan memandang keluar jendela yang ada diruang tamu itu. Dia terdiam sejenak kemudian tangannya menyapu airmata yang sedari tadi keluar dari bola matanya.
"Ibu pikir ini akan menolong. Dia selalu bilang. Ma, biarkan dunia tahu. Ini penting. Biarkan ma! Begitu terus mba."
Dan kembali menangis.
Hari itu aku usaikan hanya dengan sepenggal kisah yang menurutku baru saja dimulai oleh Rinto. Tak lebih dari dua puluh persen keseluruhan cerita yang aku duga akan disampaikannya kepadaku.
Dan sesuai janjiku pada mama Rinto khususnya, aku akan datang lagi dan mengusahakan wawancara itu selesai lalu kubawa tulisanku nanti ke pimpinan redaksi. Aku langsung terbayang jika nanti ini bisa diterbitkan, akan aku bawa majalah kami kepadanya dan aku tunjukkan langsung tulisanku tentang dirinya yang berhasil dimuat. Dan semoga Rinto akan merasa lebih baik.
Aku lupa menanyakan kapan persisnya Rinto menjadi uring seperti ini. Mamanya hanya bercerita itu terjadi tidak lama dari malam itu. Ketika malam itu, Rinto tiba-tiba saja mengetuk kamar mereka dengan pekikan. Saat itu mama papa Rinto langsung terbangun dan tahu persis dengan suara Rinto yang meronta-ronta itu.
Saat pintu kamar dibuka, mereka mendapati Rinto dengan linangan air mata. Tatapannya memandang serabutan-kiri kanan. Dia sangat ketakutan malam itu. Mama dan papanya yang tidak tahu apa-apa langsung memeluk erat Rinto.
"Kenapa sayang? Ada apa?" tanya bu Marni sambil menitikkan air mata
"maaa..! Gelap ma. API!! TERIAKAN!!MATI!!!"
Kemudian Rinto tersungkur kelantai. Kedua orangtuanya pun bahkan tak sanggup menahan itu dan turut tergopoh bersamanya. Seperti mencoba mencarikan pertolongan pertama pada anaknya, papa Rinto berlari kearah dapur kemudian menyiapkan air hangat kuku dan membawanya kepada Rinto.
"Minum,nak!" Pinta papa Rinto ketika itu
Rinto tidak menjawab apapun. Hentakan tangannya malah membuat gelas itu terjatuh dan pecah seribu dihadapan mereka. Rinto dengan suara yang melemah membuat permintaan kepada orangtuanya saat itu-itu yang aku dapatkan ceritanya dari bu Mirna.
"Yasin kan aku! Doakan aku! Ma pa!!"
Kata-kata itu yang keluar dari mulutnya dengan bibir yang semakin memucat biru.
Sekujur tubuhnya menjadi dingin sekali seperti bukan temperatur umumnya manusia. Papa Rinto yang kemudian berada diujung kakinya lalu mama Rinto yang berubah memangku kepalanya merasakan keanehan itu secara langsung dengan perasaan berkecamuk.
"Pa??" tatap bu Mirna pada suaminuya
Tak lama papa Rinto bangkit dan mengambil buku berisikan bacaan doa sesuai permintaan anaknya itu dan kembali pada posisi awalnya diujung kaki Rinto.
"ini, ma!"
"Takut, ma! Takut,pa!"
"MATI AKU! MATI!"
Ucapan yang aneh terus keluar dari Rinto. Itu membuat tangis kedua orangtuanya semakin tak terbendung-pecah membeludak air mata mereka.
Tatapan Rinto menghadap kelangit-langit dan melotot sembari bibirnya yang bergetar-getar. Saat itu menurut keterangan bu Mirna, suhu badan Rinto semakin dingin dan dingin. Ia menyadari bahwa itu tidak biasa dialami anaknya.
Entah apa yang sebetulnya terjadi, namun lambat laun Rinto tersadar sedikit demi sedikit namun tatapannya berubah jadi kosong. Tetapi suhu badan itu sudah berubah mulai hangat. Seingat mamanya bercerita padaku, Ia sempat menitikkan air mata dipipi Rinto. Dia sangat yakin tangisan itulah yang mempunyai pengaruh atas perubahan temperature Rinto.
Lalu hari-hari berikutnya setelah kejadian malam itu, Rinto hanya diam dan termenung terus-menerus. Sampai habis satu tahun, barulah Rinto mulai berani berkata-kata lagi. Trauma itu sangat terlihat menekannya dengan begitu sakit luar biasa.
"sudah dibawa kemana-mana, mba. Ke orang pinter, dokter. Sampai saya tidak tahu lagi harus bagaimana."
"saya bersyukur,dia akhirnya mau bicara lagi walaupun harus menunggu satu tahun dulu."
Dan akupun tak kuasa ingin memeluk hangat mama Rinto saat itu juga.
***
Aku masih memegang rangkap tulisanku dan aku masih berdiri persis didepan meja kerja satu rekanku yang menegur tadi. Aku menjadi berfikir lagi untuk menaikkan ini untuk dicetak. Aku takut bukan untuk karirku sendiri. Tapi aku takut ini akan memicu kesalah-pahaman banyak orang. Niat baikku mungkin benar untuk terapi Rinto, tapi apakah ini bijak untuk dia juga.
"tulisanmu ini penuh kontroversi, Fin. Pikirkan baik-baik."
"aku juga tidak yakin pimred akan setuju."
Ungkap rekan kerjaku lagi
Betapa bodoh dan plin-plannya aku sekarang. Aku bingung harus berbuat apa dan keputusan apa yang aku lakukan untuk tulisan yang sudah aku rangkum dengan susah payah ini. Pikiranku kacau sekali. Mungkin inilah satu-satunya kegelisahan yang pernah aku rasakan sebagai jurnalis dari panjangnya perjalanan karir yang sudah aku lewati.
Aku berbalik badan dan duduk kembali dikursi kerjaku,
"maafkan aku,Rinto"
Lalu pipiku basah seketika dengan linangan air mata.
Sekian. (/tm)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H