Sontak saja aku menganga dengan ucapan itu. Alangkah dalamnya kata-kata itu.
Namun belakangan baru aku sadari jika itu keluar dari mulut seorang yang aku sendiri kurang enak menyebutnya sebagai orang dengan sebutan 'sakit jiwa'. Tapi aku tidak punya istilah lain lagi. Mungkin bisa aku haluskan dengan sebutan penderita keterbelakangan mental. Namun pada akhirnya orang akan mengembalikan sebutanku itu dengan pilihan yang pertama.
Saat dia bercerita dengan antusias itu, aku mencoba memandangkan dalam kearah matanya. Betul memang tatapannya ada kekosongan. Tapi sekali lagi tak kutemukan celah cacat dari caranya menyusun kata-kata. Bahkan terdengar sangat diplomatis sekali. Dan kali ini dikelilingi mama papanya dan tentu saja aku, Rinto bukan ingin menceritakan hal berbau politik lagi. Diluar dugaanku kali ini Rinto mulai ngelantur soal pengalamannya yang aku sendiri sedikit ragukan kebenarannya.
"mata saya terbuka, kiri kanan orang minta tolong dengan kencang."
Rinto bercerita sambil kedua tangannya mengepal dan membawa ekspresi takut yang luar biasa
"lalu?" Entah apa yang ada difikiranku saat itu, aku malah benar-benar menjadi tertarik dengan ceritanya
Mulutnya gemetar sejadinya. Tatapan matanya yang kosong kini memerah dan mengeluarkan air. Rinto tiba-tiba saja menangis
"aku tidak sanggup melihatnya. Ada yang ditombak dibagian kelamin. Ada yang lidahnya digunting."
Rinto menutup telinganya, ia menggeleng-geleng kencang. Aku bisa melihat rasa takut yang luar biasa ada pada dirinya saat menceritakan itu.
"hei,Rinto. Tenang!Tenang!"
Kataku seraya menempelkan kedua tanganku dikedua sisi pundaknya.