Pemikiran saya, jika saya laporan saya akan mendapatkan penilaian buruk dan durasi rawat inap semakin lama. Meski begitu, keesokannya saya baru cerita kepada perawat yang memeriksa saya.
Meski sempat dimarahi, saya akhirnya bisa selesai jalani karantina seminggu di rumah sakit dan tambahan 2 minggu isolasi di rumah. Hampir sebulan saya tidak ada aktifitas berarti.
Dua tahun berlalu, tidak sangka, saya harus berkenalan lagi dengan virus satu ini. Bedanya, dulu tidak ada jenis varian, sekarang saya 'diduga' terkena varian Omnicron.
Di perkenalan kedua ini, gejala yang saya alami berbeda. Jika pertama saya memutuskan swab karena merasa kontak erat, kali ini saya melakukan swab karena sudah 3 hari panas tinggi.
Saya merasakan panas tinggi selama 3 hari berturut-turut, bahkan menyentuh angka 38,8 derajat celcius. Saya teringat, anak saya pernah panas di angka segini saat terkena DB dan kondisinya menggigil.
Tidak hanya panas tinggi, saya merasakan nyeri yang begitu hebat pada tulang ekor saya. Membuat saya harus merasakan kesakitan yang begitu hebat, saya tidak bisa berdiri, tidur miring pun sakitnya minta ampun.
Selain itu, saya mengalami mual dan muntah. Saya hampir tidak makan selama tiga hari ini. Tentu ini membuat badan saya begitu lemas dan seperti tidak "jangkep" kalau kata orang jawa.
Muntah saya pun tidak hanya sekadar makanan yang keluar tapi juga merah seperti darah. Kondisi saya diperparah dengan diare di hari ketiga. Saya begitu kesakitan.
Ketika sore hari saya merasa sedikit enak badan, saya memutuskan pergi sendiri ke laboratorium yang cukup jauh sebenarnya dari rumah untuk tes PCR.
Besoknya, di hari keempat siang, hasil tes PCR keluar dan saya harus menerima kenyataan saya "positif". Jujur, kondisi ini membuat saya terpukul, bahkan saya menangis saat laporan ke petugas puskesmas via telepon.
Sebagai orang yang pernah terlibat penanganan Covid dan pernah terkena Covid, saya paham SOP jika saya terjangkit Covid. Sejak hari kedua, saya sudah meminta anak dan istri saya menjaga jarak.