Bahkan tidur pun kami memakai masker. Meski di hari kedua kami tidur sekamar, tapi kami mengubah posisi tidur. Anak dan istri tidur dengan posisi kepala di kaki saya.
Ketika hari keempat hasil keluar, sambil menangis saya meminta anak saya untuk tidak mendekati saya. Anak saya memang senang bermain dan mengobrol dengan saya setiap waktu.
Meminta anak saya menjauh jelas membuat saya semakin sedih. Apalagi, si kecil ketika diminta menjauh malah menjawab, "aku gak di dekatnya papa kok, aku berdiri di sini di depannya papa".
Siang itu setelah mendapatkan hasil positif, istri dan anak saya terpaksa tidur di luar kamar. Hasil koordinasi dengan puskesmas, saya diminta untuk rawat inap di rumah sakit mengingat gejala yang saya alami cukup banyak.
Yang saya sedihkan waktu itu, kenapa kondisi saya lebih parah ketimbang pertama kali saat saya terkena Covid 19. Padahal, banyak berita dan pengumuman dari pemerintah jika varian Omnicron lebih ringan.
Kenyataannya, saya merasa tidak baik-baik saja. Terutama nyeri di tulang ekor saya yang begitu menyakitkan. Belum lagi mual dan muntah yang jelas membuat saya tidak bisa mendapatkan asupan makanan.
Setelah berkoordinasi, pada akhirnya saya dirawat di salah satu rumah sakit. Di sana, saturasi saya diukur, ternyata berada di angka 96. Selain itu, denyut nadi cukup lemah.
Saya pun akhirnya harus mendapatkan perawatan berupa infus dan beberapa suntikan lewat infus yang terpasang di tangan. Suntikan itu kebanyakan suntikan untul mual dan muntah saya.
Meski dapat suntikan itu, saya masih belum bisa makan banyak. Bahkan selama 4 hari di rumah sakit, saya tidak bisa makan nasi yang diberikan. Saya hanya bisa makan agar-agar dan roti saja.
Di rumah sakit, mental saya drop. Saya tidak ada teman di sana, saya sendirian. Tidak ada hiburan yang bisa saya dapatkan. Kegiatan saya seringnya hanya streaming film, tidur dan pergi ke toilet.
Di hari kedua di rumah sakit, saya mendapatkan kabar buruk. Saya diberi tahu jika anak saya, si kecil mendapatkan hasil positif antigen sedangkan istri negatif.