Mohon tunggu...
Titis antikasari
Titis antikasari Mohon Tunggu... Guru - Penulis adalah profesi utama yang setiap dari kita memiliki kemampuan tersebut

Menjadi sahabat untuk diri kita sangatlah mudah. Salah satunya menjadi seorang penulis. Menulis merupakan cara elegan untuk menjadi diri kita yang lain. Sahabat.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Nanut dan Masker Merah Jambu

27 Oktober 2023   10:25 Diperbarui: 27 Oktober 2023   11:44 133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bu Naim siapa Kak? Ibu guru kamu yang punya tahi lalat besar di kening itu?

“Bukan, Bu Naim ibunya Niam sahabatku, Bu!” Tak tertahan air matanya pun berlinang membanjiri pangkuan ibunya mengingat sewaktu di taman, Niam menangis tersedu.

 Nanut sedikit lega, Ibu mengelus kepalanya dan menenangkan pecah tangis yang ia tahan sejak di sekolah tadi. Mengingat ia sudah kelas IV sekolah dasar, orang tua Nanut selalu mengajarkan jadilah anak yang kuat dengan tidak menangis di muka umum. Ibu menghela napas panjang, dan paham betul perasaan Nanut yang sedang berduka karena ibu dari temannya meninggal dunia karena covid. Ditambah lagi Niam tadi pagi dijemput Ayahnya, mereka sekeluarga harus diisolasi mandiri mengikuti protocol kesehatan karena berstatus orang dalam pantauan. Lengkap sudah! Nanut kehilangan teman bermain, pikirnya.

“Bu, apakah orang yang sudah meninggal bisa ditemani?” Lanjutnya dengan ingus yang belepotan di pipi kanan dan kiri.

“Bisa, Kak. Ditemani dengan selalu mendoakan beliau.” Jelas Bu Zubaidah kepada anaknya yang terisak tangis.

“Lalu bagaimana cara kita supaya bisa mengingatnya terus, Bu?” Telisik Nanut yang mulai berhenti menangis bertengger di bahu ibu.

“Semua orang akan meninggal Kak, begitu pula Ibu. Suatu saat jika ibu meninggal, kamu bisa mengenang ibu melalui album foto, baju-baju ibu, bahkan benda kesayangan ibu.” Sahut Ibu meneduhkan.

Anak sekecil Nanut dan Niam belum begitu paham arti perpisahan. Apalagi pandemi covid-19 telah menjangkit merenggut nyawa secara tiba-tiba.

***

 Senja temaram, itu artinya waktu yang tepat untuk Bu Zubaidah beberes baju cucian karena si Adik sudah terlelap setelah mandi sore. Cucian kering menggunung arah keluar kedalam siap menyita segenap tenaga. Memang begitu, mencuci dengan mesin cuci asal instan tidak diteliti satu persatu. Masker, di antara masker kain kepunyaan keluarga, ada masker merah jambu yang menurutnya asing. Bertuliskan “Surgaku” bagian pojok bawah, berulang kali dibuka depan belakang. Bu Zubaidah curiga, selama ini ia tidak pernah menjahit masker berwarna merah jambu terlebih ada tulisan pada masker tersebut. Seisi rumah ia panggil, terutama bapak.

“Pak, ini milikmu?” Ibu bertanya kepada Bapak setengah teriak.

“Bukan, Bu.” Bapak menjawab seketika menepis tanya ibu padahal melihat pun saja belum.

“Lagi pula untuk apa aku menyimpan masker warna perempuan begitu, merah jambu? Cucok nian jika aku yang pakai. Bapak sambil mempraktikkan dengan gaya kemayu. Bukankah masker milikku semua warna hitam? Itupun karyamu semua.” Jawaban Bapak tambah meyakinkan.

Dari balik kamar, Si Nanut berteriak.

“Itu milikku, milikku.” Nanut merebut masker yang ada pada genggaman ibunya.

“Itu masker milikku, Bu.” Ia mengulang kata-kata.

“Niam memberiku sewaktu kami bercerita, sebelum ia dijemput ayahnya, dan berkabar ibunya meninggal.” Nanut mematahkan rasa penasaran ibunya.

“Niam punya banyak masker yang dijahit ibunya dengan tulisan surgaku, Bu.” Nanut kemudian melanjutkan cerita kemarin yang sempat tertunda karena adiknya menangis.

Surga itu selalu bersamaku kata Niam menahan hampa sesak karena ibu yang ia cinta tak membersamai tepat dihari ulang tahunnya, kemarin. Sengaja sebungkus kado ia buka sebelum hari ulang tahun Niam. Ya, ia membukanya sebelum hari H itupun atas permintaan sang ibu via telepon. Kado tersebut dititipkan melalui ayah. Bungkusan warna biru dongker gambar mobil-mobilan berisi dua lusin masker warna merah jambu hasta karya ibu selama isolasi bertuliskan “Surgaku” dan surat singkat dari ibu, seolah sudah firasat.

“Ibu tidak pergi. Kamu adalah surga ibu, ibu adalah surgamu. Kelak kita akan bertemu dengan penuh rindu. Selamat hari ulang tahun surga ibu.”

 

 Kata Niam, ia selalu dilindungi ibunya dengan selalu memakai masker ini. Virus covid tidak akan berani menyerang, Bu.

“Oh iya? Keren sekali ibu Niam. Berarti ini masker ajaib, Kak?” Riang menutup kesedihan sebagai sesama ibu sontak terpotong.

“S u r g a k u!” Nanut menjelaskan sambil menunjuk tulisan pada masker tersebut.

“Aku diberi satu masker sebagai tanda persahabatan karena ia akan diisolasi mandiri, Bu.” Kata Nanut sungguh-sungguh.  

 Wajah Bu Zubaidah tenggelam, meneteskan air mata. Ia tidak bisa membayangkan jika ia ada di posisi Bu Naim yang meregang nyawa karena covid dan meninggalkan anak yang masih sangat butuh bimbingan. Adzan maghrib berkumandang. Bapak dan Nanut salat berjamaah di mushola depan rumah. Meja makan sudah rapih dengan hidangan makan malam. Adik? Adik masih tertidur sedari sore hingga malam nanti ia minta menyusu.

***

Masker merah jambu menjadi inspirasi. Kelakar bersama bapak, ibu menyeletuk.

“Pak, kasihan ya keluarga Niam.” Bincang ibu sambil membereskan piring dan sisa makanan.

“Yah begitulah hidup, Bu. Kita terlahir dengan satu cara namun kita bisa mati dengan berbagai cara.” Nasihat Bapak.

“Kamu Nanut.” Melambai kepada anaknya kemudian merangkul.

“Kamu harus jadi anak yang penurut, ketika ibu melarang berarti hal itu tidak baik untukmu. Mengerti?” Menatap bijak.

“Mengerti Pak! Aku akan menjadi anak kebanggaan Bapak Ibu, sayang dengan adik dan berbuat baik kepada semua orang.” Senyum manis penuh keyakinan seolah merasa dewasa.

Ide cemerlang bapak tidak pernah surut.

“Karena ibu pandai menjahit” Menunjuk tumpukan kain garapan ibu.

“Bagaimana jika ibu menjahit masker merah jambu berbordir tulisan surgaku?” Terang Bapak.

“Bisa kita jual, Pak? Hasilnya bisa kita sumbangkan untuk keluarga Niam.” Lanjut Ibu melihat Nanut yang melonjak-lonjak sorak hore, karena bakal disibukan selama masa tunda pembelajaran tatap muka. Sepeninggal salah satu keluarga murid sekolahnya meninggal karena covid PTM ditangguhkan kembali.

Nanut tersenyum kegirangan menggenggam masker merah jambu itu lekat sekali. Dia seorang sahabat yang penuh kasih. Ada perasaan sedih merasakan temannya kehilangan ibu dan ada perasaan pengharapan semoga Niam baik-baik saja meskipun hasil swab dinyatakan reaktif, berita dari kepala sekolah Senin kemarin. Tok..tok…tok…Tepat pukul 19:00 Wib pintu rumah Nanut diketuk. Bapak membuka surat dari dinas kesehatan tertera dalam badan surat, undangan rapid tes minggu depan atas nama keluarga Pak Wawan. (*)  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun