“Oh iya? Keren sekali ibu Niam. Berarti ini masker ajaib, Kak?” Riang menutup kesedihan sebagai sesama ibu sontak terpotong.
“S u r g a k u!” Nanut menjelaskan sambil menunjuk tulisan pada masker tersebut.
“Aku diberi satu masker sebagai tanda persahabatan karena ia akan diisolasi mandiri, Bu.” Kata Nanut sungguh-sungguh.
Wajah Bu Zubaidah tenggelam, meneteskan air mata. Ia tidak bisa membayangkan jika ia ada di posisi Bu Naim yang meregang nyawa karena covid dan meninggalkan anak yang masih sangat butuh bimbingan. Adzan maghrib berkumandang. Bapak dan Nanut salat berjamaah di mushola depan rumah. Meja makan sudah rapih dengan hidangan makan malam. Adik? Adik masih tertidur sedari sore hingga malam nanti ia minta menyusu.
***
Masker merah jambu menjadi inspirasi. Kelakar bersama bapak, ibu menyeletuk.
“Pak, kasihan ya keluarga Niam.” Bincang ibu sambil membereskan piring dan sisa makanan.
“Yah begitulah hidup, Bu. Kita terlahir dengan satu cara namun kita bisa mati dengan berbagai cara.” Nasihat Bapak.
“Kamu Nanut.” Melambai kepada anaknya kemudian merangkul.
“Kamu harus jadi anak yang penurut, ketika ibu melarang berarti hal itu tidak baik untukmu. Mengerti?” Menatap bijak.
“Mengerti Pak! Aku akan menjadi anak kebanggaan Bapak Ibu, sayang dengan adik dan berbuat baik kepada semua orang.” Senyum manis penuh keyakinan seolah merasa dewasa.