Mohon tunggu...
Titin Widyawati
Titin Widyawati Mohon Tunggu... Lainnya - Pengamat Kehidupan

Suka melamun dan mengarang.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Riana

18 April 2024   23:57 Diperbarui: 18 April 2024   23:57 86
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Bagi Riana, melayani pembeli, tak jauh berbeda dengan kisahnya lampau lalu, sebelum banjir besar-besaran mengilhami kesadarannya. Ia sering mendengar obrolan sembarang dari beberapa lelaki yang mengajaknya kencan, "istriku baik hati dan penurut jika kantongku penuh dengan dompet, kadang aku korupsi karena itu, selain juga karena nafsuku yang tak tahan melihat godaan dari mata-mata rupiah dan wanita-wanita." 

Kisah mereka, di lain waktu pindah pada keluhan yang datar. "Aku malu pulang menemui istriku karena tak membawa banyak uang, sementara diriku sudah tak tahan melawan... maka kupinang..." sambil tersendat-sendat mereka mengungkapkan, kalimat-kalimatnya sering menggantung, atau bisa juga menjadi sebuah pertanyaan retorik. 

Riana akan diam beribu bahasa, ia menyelami dan melakukan pekerjaannya dengan baik, jika perlu mendengarkan kisah mereka maka akan didengarkan, asalkan sewanya bertambah. Telinganya ditegakkan untuk mendengarkan curahan batin apa saja, tanpa meresponnya kecuali, 'Oh ya? Oh my God! Aku tak pernah tahu kehidupan orang-orang penting, bagiku semuanya tak penting! Mengeluh adalah hal yang manusiawi, tak mengapa Anda mengeluh, semuanya akan selalu seperti itu jika tidak segera diatasi."  

Adanya wanita yang bekerja sebagai pelacur, justru seperti sebuah buku diary yang siap ditumpahi tinta merah dari penulisnya. "Aku bingung bagaimana mengembalikan citra diriku di mata publik, kasus narkoba membuatku muak! Kau tahu? Padahal beberapa orang kepercayaanku sudah kusumpal dengan uang untuk merahasiakannya, tetap saja narkoba di gudangku terendus." Bagi Riana suara-suara itu tidak menguntungkan baginya. Ia juga tak mempunyai nyali kuat untuk merekam setiap inci huruf yang dikeluarkan lalu dilaporkan ke pihak berwenang. 

Sekelompok manusia cenderung menyukai pakaian-pakaian ketat dan seksi, itu artinya sosok yang tergambar adalah manusia yang gemar menonjolkan dirinya. Produk kecantikan yang harganya mahal dan jelas-jelas sudah diketahui kandungan buruknya tetap dipinang, atas dasar memenuhi penampilan. Ada pula konsumen yang menjadi langganan produk tas-tas terbaru, seolah-olah ia tak ingin ketinggalan. Riana selalu bertanya-tanya untuk apa semua itu? 

Bagi Riana, orang awam yang mulia tak perlu belanja banyak barang sebagai gaya-gayaan, tampillah secukupnya yang rapi dan elegan, tanpa harus membubadzirkan uang-uang. Kadang ia menimbang data statistik pembeli dengan tingkat kemiskinan di pelosok-pelosok negeri. Yang bersembunyi di balik rerimbunan hutan dan luasnya lahan, hanya meratap, memimpikan keindahan kota metropolitan, bisa juga mereka tak paham transaksi jual beli online, yang terpenting besok ada beras dan lauk di meja makan.

Beda cerita jika mereka bekerja sebagai pelacur, fashion dan performance fisik merupakan daya tarik sendiri dalam melayani pacar-pacar sesaatnya. Dahulu, riasan wajah Riana tebal dan menor, parfumenya menyengat ke penjuru ruangan. Lain cerita pada tahun itu, ia cukup mandi tiga kali sehari dan melumasi tubuhnya dengan handbody.  

Di sebuah halte ketika Riana pulang dari Kantor Pos, ia bertemu dengan seorang pria. Ia memakai ransel besar dengan jaket tebal yang entah apa isinya. Telapak kakinya dibungkus sepatu boot sementara kedua matanya dilindungi dengan lensa. Ada arloji mewah yang melingkar di lengan kirinya. 

Riana singgah di halte tersebut, berteduh dari reruntuhan air langit yang mengamuk. Jalanan dipenuhi dengan riak-riak air, roda dua menabrak genangan air, terciptalah ombak daratan yang berhamburan sesaat di udara. Riana tak membawa jas hujan, sepeda motor inventarisnya diparkir di tepi halte. Pria itu menjabat tangannya. 

"Aland, kau mau ke mana?" tanpa basa-basi pria itu memperkenalkan diri dan menaruh simpati pada Riana. 

"Pulang."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun